Judul diatas , bukan menunjukan hubungan kerjasama , apalagi berkompetisi. Â Hubungan satu (google)dan yang lainnya (korupsi) tidak menunjukan sebab akibat yang segaris. Google adalah search enggine (mesin pencari di Internet) yang sangat populer. Selain Google sebetulnya masih ada yahoo.com dan MSN,Delta dll. Sejauh yang populer , Google memang masih nomer 1 bagi pengguna komputer dan Internet. Menyebut Google memang familiar sekali.
Sementara  Korupsi perilaku kriminal yang wajib di perangi manusia. Di Indonesia korupsi masih jamak di temui. Pemberantasan korupsi di Indonesia masih harus banyak berjuang. Keterbukaan informasi salah satunya,sebagai senjata memerangi  perilaku korup .
Awal dari tulisan ini adalah keluhan teman penulis, seorang pengusaha kontraktor yang kerap dapat proyek pemerintahan. Sebut saja Budi (tentu bukan nama sebenarnya), Budi ngeluhkan semenjak era keterbukaan informasi , zaman internet mudah diakses dimana mana, sangat berpengaruh dengan keuntungan perusahaannya. keuntungan perusahaannya semakin kecil, karena harus kompetitif dengan pesaing, di tambah tekanan korupsi yang masih subur di instansi dimana,  mas Budi dapat proyek. Mas Budi bercerita zaman dahulu , harga harga dari barang yang di tenderkan gelap . Banyak orang tidak tahu berapa sebenarnya harga asli dari suatu barang. Gelapnya harga barang, membuat suksesnya "Markup harga " dari suatu barang. Barang yang berharga 100 bisa di jual ke instansi 1000 , alias 10x lipat. keuntungan yang 10x lipat itu,  jadi bisa mengcover perilaku Pejabat amplop yang minta jatah. Zaman dahulu sebelum ada internet , lancar lancar saja ,karena para pengaudit kesulitan mengetahui adanya ,markup atau tidak, dari suatu barang. Kesulitan Informasi membuat celah untuk korupsi, tanpa takut ketahuan . Keadaan berbalik sekarang , dengan memasukkan kata kunci ke Google , keluar lah segala informasi yang berkaitan dengan barang tersebut, mulai dari spesifikasi ,model,bentuk,gambar hingga harga. Walhasil sebagai kontraktor/pengusaha tidak bisa terlalu jauh menetapkan dari harga dasar barang tersebut. Untungnya yang dulu berkali lipat,sekarang terbilang dalam persen,10%,20% atau paling besar 50%. Mendekati 100% harga barang sudah disebut tidak wajar. Harga barang yang tidak wajar tentu saja beresiko pada saat proyek tersebut di periksa tim audit. Harap harap untung  malah jadi buntung .
Bagi Pak Budi zaman itu sudah berlalu, keuntungan besar 10x lipat bahkan tak terbatas, kenapa tak terbatas? pernah ada pengadaan suatu barang yang nilainya 56 juta bisa terjual milyaran, karena gelapnya informasi akan barang tersebut.
Pak Budi masih jadi pengusaha, untungnya semakin kecil, yang bikin pusing Pak Budi , perilaku pejabat Amplop, tidak kunjung hilang. Begitu satu perusahaan rekanan instansi dimenangkan dalam suatu proyek, siap siap juga jadi sapi perah para pejabat. Yang aneh, para pejabat menganggap keuntungan para pengusaha masih seperti zaman dahulu,ketika belum ada internet, dengan search enggine Google , yang menginformasikan segalanya. Para pejabat kalau ada pengusaha menang tender, seperti melihat ada ATM baru . Secara total cuma untung 10 -20% akhirnya jauh berkurang dari itu karena harus service para pejabat.
Bagi pak Budi mudahnya mencari informasi melalui search enggine yang bernama Google bagai pisau bermata 2.,menguntungkan sekaligus merugikan. Sebagai seorang pengusaha harus positif thinking tidak boleh kenal menyerah. Pak Budi juga sadar informasi memang tidak dapat di bendung, penggunaan informasi secara bijaksana,akan berakibat positiv ,bahkan untuk bisnisnya juga.
Buta informasi? Google aja juragan....
Bekasi 24 mei 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H