Lima tahun berlalu setelah malam menyedihkan itu. Malam dimana aku kehilanganmu untuk selamanya. Malam yang tak pernah sekalipun kulupa setiap detil kejadian di dalamnya.
Dan telaga sunyi ini kembali menjadi saksi bisu kesendirianku, kesedihanku, dan kenanganku akan dirimu. Terkadang terpikir olehku, apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Apa yang sebenarnya terjadi padamu. Tanya yang tak pernah kutemukan jawabnya. Kembali semua itu berkelebat di benakku.
“It’s time,” sebuah suara lembut menyadarkanku dari lamunan tentangmu. Untuk terakhir kalinya kutatap telaga sunyi ini. Telaga yang begitu indah saat kukunjungi bersamamu.
Tanpa menoleh, kuraih tangan lelaki muda yang dengan setia menungguku. Kami berjalan bersisian menuju mobil, tanpa kata. Seperti biasa, si lelaki muda tak banyak bicara. Dia hanya menuntunku, membukakan pintu mobil, kemudian menyetir dalam diam. Akupun lelah, lelah dengan pertanyaan2ku tentangmu, lelah dengan harapan semuku akan dirimu.
“Jika saja aku bisa membawanya kembali, akankah kamu bahagia?” Pertanyaan yang sama sekali tak kuduga. Tersentak, kutatap si lelaki muda dalam-dalam. Dia kembali diam, menatap lurus ke jalanan yang sepi.
“Mungkin salah dengar,” batinku. Kurebahkan kembali punggungku ke sandaran kursi mobil. Sebelum aku memejamkan mata, si lelaki muda kembali bersuara.
“Aku mencintaimu. Dan aku tau hanya dia yang kau cintai, hanya dia yang bisa membuatmu bahagia,” dia memberi jeda pada kalimatnya.
Kemudian, “Akankah kamu bahagia andai kubawa dia kembali ke sisimu?”
Kali ini tanpa menoleh, setengah hati kutanggapi kata-katanya,
” How?”
“I found a way,” Suaranya mantap.
“I guess I will,” jawabku juga mantap. Ya aku masih yakin padamu, pada kita.