Telaga ini sunyi sekali. Tapi sungguh aku tak pernah menyadari ini sebelumnya. Mungkin karena aku selalu kesini bersamamu. Bagiku, hadirmu sendiri sudah cukup untuk mengusir sepi.
Tapi tidak kali ini. Wajah sendumu, tatapan hampamu…
Entahlah, semua terasa membunuh, mengiris perlahan hingga ke sendi dan tulang-tulangku. Kualihkan pandangan ke daun teratai di tengah telaga. Tidak, kali ini aku tak sanggup menatapmu. Aku bahkan tak berani menikmati keindahan wajahmu.
“Kenapa?” Kucoba membunuh sepi dengan bertanya padamu. Sebuah tanya singkat yang kemudian kusesali terucap dari bibirku. Tanya yang tak pernah mungkin ada jawabnya. Perlahan kau menoleh, menatapku, pedih.
“Oh Tuhan, tolong jangan tatap aku seperti itu,” lirihku, hampir tak bersuara.
Kau raih tubuh mungilku ke pangkuanmu. Hangat kurasakan pelukanmu. Aku tak ingin ini berakhir.
“Tidak, tak kan kubiarkan mereka merebutmu dariku,” tekadku.
“Bukan mereka, tapi kita,” suara lembutmu tak mampu meredam kagetku. Dan sebelum sempat kubertanya, kau mendapatkan serangan itu. Mukamu tiba-tiba berubah pucat dan tenagamu hilang seketika. Tak sanggup berkata-kata, kau hanya menumpang di bahuku. Perlahan kuturunkan tubuhmu, dan kubiarkan kau berbaring di pelukanku.
Tatapanmu, tak mungkin kulupa hari itu. Tatapan lelah teramat sangat, seolah berkata “let me go.”
Dengan air mata bercucuran, aku mengangguk. Perlahan aku beranjak, meninggalkanmu sendirian, kedinginan di pinggir telaga sunyi ini.
============