Rencana pembangunan PLTA oleh PT Seko Power Prima, dengan kapasitas 480 MW telah mengancam keberlanjutan hidup Masyarakat adat Seko khususnya Perempuan, yang sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai Petani dan menggantungkan hidupnya dari hasil pengelolaan tanah pertanian dan perkebunan. Pada Agustus 2016, Ratusan warga desa Tana Makaleang, Seko Tengah, Luwu Utara, Sulawesi Selatan, menolak pembangunan PLTA PT Seko Power Prima.
Kegiatan PLTA PT. Seko Power Prima dihentikan, selain tanpa izin dari Masyarakat Adat Seko aktivitas kerja merusak tanah yang telah mereka kelola sejak turun temurun. Penolakan Masyakarat adat Seko di dasari dengan Perda No.12 Tahun 2004 tentang Perlindungan Masyarakat yang di Perkuat dengan SK yang di keluarkan oleh Bupati Luwu Utara No.300 Tahun 2004 tentang pengakuan Masyarakat Adat Seko, yang mana salah satu poinnya adalah setiap pemberian izin-izin pemanfaatan Sumber Daya Alam di Wilayah Masyarakat Adat Seko harus atas persetujuan Masyarakat adat Seko (Poin a Pasal 10). Selain itu, PLTA PT.Seko Power Prima telah melanggar Perda RTRW Kabupaten Luwu Utara Nomor 02 Tahun 2011. Sebab Perda Adat Seko jelas sebagai dasar hukum yuridis dan legitimasi.
Sangat disayangkan tak ada satu pihakpun yang menyinggung kenapa mesti takut terhadap intimidasi Pemerintah, jika masyarakat adat benar-benar menolak adanya PLTA. Jelas bahwa dasar Peraturan Daerah merupakan komitmen masyarakat adat Seko tidak dapat dilabrak, sebab jika diterobos maka Pemda dan pihak perusahan wajib mempertangungjawabkan secara hukum karena itu telaah nyata bertentangan dengan ketentuan hukum. jangan masyarakat dijadikan sebagai sapi perahan dan jeratan untuk pemuasan nafsu kesewenang wenangan semata.
Kekerasan tidak hanya dialami laki-laki, kekerasan juga menimpa warga perempuan yang mempertahankan tanah kehidupannya. Sebanyak tujuh perempuan diangkat dan dihempaskan ke tanah oleh aparat, dan ratusan perempuan lainnya terkena tembakan gas air mata karena bertahan mendirikan tenda dan pagar di lokasi pengeboran PLTA PT Seko Power Prima yang terletak di Kecamatan Seko Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini mereka lampiaskan demi melancarkan aktivitas perusahaan, kali ini terhadap Perempuan Seko di Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
Kekerasan ini tentu menuai kecaman, salah satunya dari Solidaritas Perempuan Anging Mammiri. Dilansir media Fajar online, Ketua Solidaritas Perempuan Anging Mammiri, Nur Asiah, dalam rilisnya mengecam kekerasan terhadap perempuan di Seko. Puluhan aparat kepolisian dikerahkan untuk mengamankan aktivitas perusahaan. Intimidasi dan terror melanda kehidupan masyarakat, hingga warga terpaksa mengungsi masuk ke dalam hutan demi menghindari terror dan kejaran aparat, terutama warga laki-laki yang ditetapkan sebagai DPO.
Bahkan pada Oktober 2016, 13 warga laki-laki ditangkap dan ditahan atas dakwaan merusak fasilitas PT Seko Power Prima yang akan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Sungai Betue, Kecamatan Seko. Vonis 7 bulan jeruji besi menanti mereka pada 27 Maret 2017. Jawaban solusi para pihak kapitalis untuk tetap memuluskan kepentingannya, hingga saat ini titik terang dari konflik PLTA tak kunjung terang. singkatnya apakah adat masih dijunjung tinggi oleh seluruh lapisan masyarakat dan terkhusus bagi pemerintah daerah sendiri. Meski mendapat intimidasi hingga penangkapan tak akan melemahkan perjuangan mereka.
Ancaman dan kekerasan oleh aparat kepolisian kerap dialami oleh perempuan dan anak-anak di Seko Tengah. Tak cukup dengan itu, polisi menembakkan sebanyak tujuh kali gas air mata. Dampaknya perempuan-perempuan yang melakukan aksi penolakan saat itu, merasakan pedis di sekitar mata, susah bernafas, dan tidak bisa melihat. Hingga saat ini, dampak dari gas air mata tersebut mengakibatkan beberapa perempuan yang terkena masih merasa badan lemah dan menggigil, mata bengkak-bengkak, mata rabun dan silau terhadap cahaya, batuk darah, berak darah, mencret, perut dan dada sakit, serta sesak nafas. Keselamatan masyarakat pun terancam setiap saat.
Mereka khawatir kalau tanah dirusak bagi warga sama saja tidak punya apa-apa lagi, karena mereka hidup dari tanah. Tanah bagi masyarakat adat di Seko tidak hanya sebatas nilai ekonomi, tetapi memiliki nilai sosial-budaya dan spiritual. Membangun budaya gotong-royong dengan saling membantu dalam mengolah tanah pertanian. Kehadiran korporasi PLTA justru memicu konflik horizontal antar masyarakat. Intimidasi juga dialami oleh anak-anak sekolah ketika diketahui orangtuanya melakukan penolakan terhadap PLTA.
Sebagaimana pemberitaan, intimidasi masih dirasakan oleh warga Seko. Larangan berkumpul dan ancaman akan dilaporkan ke pemerintah. “Kami selalu ditakut-takuti, kalau ada yang bicara akan ditangkap. Kalau ada perkumpulan yang menolak, pasti ada mata-mata,” ungkap salah satu perempuan Seko.
Terhadap situasi tersebut, Nur Asiah, mengatakan, Solidaritas Perempuan Anging Mammiri mengecam keras perampasan tanah yang di lakukan PT Seko Power Prima untuk pembangunan PLTA yang telah melahirkan banyak kekerasan terhadap masyarakat adat khususnya Perempuan dan Anak. Kekerasan yang dilakukan aparat terhadap Perempuan Seko satu bentuk pelanggaran HAM oleh Negara.
Negara seharusnya memberikan perlindungan terhadap masyarakatnya bukannya malah menindas rakyatnya. Pembangunan PLTA ini harus segera dihentikan karena telah merampas sumber kehidupan Masyarakat dan melanggar hak masyarakat adat.