Ungkapan “tuntutlah ilmu hingga negeri china” memang tepat. Pro kontra terhadap invasi tenaga kerja asal china polemik tersendiri di negeri ini. Diluar polemik tersebut sekiranya pantas menyebut Sumber Daya Manusia asal China sebagai negara penghasil teknologi informasi di kawasan Asia bukanlah isapan jempol belaka. Bahkan hampir menguasai pabrikan elektronik dunia. Siapa yang tidak mengenal Smatrphone asal China merek dagang elektronik tersebut begitu membahana, sebut saja merek LG, DELL (perusahaan asal Amerika made in China).
China tidak mau kalah bersaing dari negara-negara lain seperti Finlandia, Swedia, Swiss, Jepang hingga Korea Selatan. Pabrikan China nyaris menjarah berbagai konten digital. Dimana vendor-vendor smatrphone pabrikan China saling berlomba-lomba memberikan pelayanan terbaiknya bagi konsumen. Perkembangan smatrphone high tech asal China tidak bisa dipandang sebelah mata pasaran internasional, sebut saja merek Oppo, pemasarannya merambah pangsa pasara Indonesia. Produsen Oppo cukup konsisten memasukan konten-konten canggih setara handphone produk eropa. Smatrphone pabrikan bermerek dagang high tech asal China diantaranya Xiaomi, Lenovo, Meizu, ZTE, LG dan seterusnya.
Ini akan mempengaruhi banyak orang, terutama pekerja yang berkecimpung pada sektor keahlian khusus. Sementara kita terus berupaya meningkatkan daya saing sektor industri dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), justru China telah meroket dengan membuat langkah besar ke depan lalu meluncurkan roket Long March 7. Roket kelas baru ini mampu mengangkat hingga 13,5 metrik ton ke orbit Bumi rendah (LEO). Roket Long March 7 dibangun sebagai bagian untuk membantu crew stasiun antariksa yang direncanakan China untuk berangkat pada 2020. Peluncuran ini bertujuan untuk menguji roket baru dan fasilitasnya yang berlokasi di Hainan, pantai selatan China.
Bukan hanya Indonesia yang di buat bego akan kebangkitan elektronik china, patut diwapadai! soal antisipasi dalam menghadapi pasar bebas Asia Tenggara yang dikenal dengan sebutan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Negara lain tentu sepakat ketar-ketir menghadapi invasi Tenaga Kerja Asing asal China dengan dukungan kualitas SDM diatas rata-rata. Ini dilakukan agar daya saing Asean meningkat serta bisa menyaingi Cina dan India untuk menarik investasi asing. Penanaman modal asing di wilayah ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan. Ini mengindikasikan bahwa banyak perusahaan yang akan menemukan pegawainya kurang terampil atau bahkan salah penempatan kerja karena kurangnya pelatihan dan pendidikan profesi.
Bisnis olahraga merupakan sasaran China, selain bisnis olahraga merupakan ajang pemupukan bakat sejak usia dini dengan fasilitas memadai. Sebuat saja cabang Bulutangkis. Tidak butuh cerita panjang lebar tim Bulutangkis China mempecundangi beberapa tim bulutangkis eropa hingga Indonesia. Paling menyakitkan tim Bulutangkis China mampu merebut piala Uber dan Thomas, sampai piala Sudirman direbu juga. Selepas kejayaan pemain-pemain hebat Bulutangkis era Susi Susanti dan Alan Budikesuma, Liem Swiking, Icuk dll masih ditunggu kebangkitannya. Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir akrab disapa Owi/Butet ini merupakan salah satu wakil di sektor gandacampuran terus melesat mengharumkan kejayaan olahraga cabang bulutangkis Indonesia.
Kalangan dunia sepakbola China juga mendunia dengan keberanian mereka mendatangkan beberapa pemain top eropa meramaikan liga disana, selain dana tentu komitmen pemerintah serta komitmen memajukan China sebagai raksasa sepakbola di kawasan Asia Tenggara terbukti nyata. Nasib tak sama dialami timas Garuda selalu dihadapkan pada konflik dan kepentingan politik pejabatnya.
Untuk meningkatkan daya saing nasional tersebut dibutuhkan konsultasi, edukasi, advokasi dan regulasi tegas kepada seluruh pemangku kepentingan di Indonesia tentang perkembangan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) agar mampu menkan angka korupsi dan kriminalisasi. Kita bisa bayangkan apabila dalam konteks masyarakat informasi saat ini yang kita miliki/beli gadget dari China dibenak dan ingatan kita informasi teknologi tersebut sudah meracuni benak dan sanubari orang indonesia sendiri, hanya mampu berdebat tanpa diantara persimpangan toleransi dan intoleransi, sama-sama dibutuhkan konsistensi. Kenapa tidak menciptakan inovasi teknologi canggih melebihi produk-produk telekomunikasi China dengan trademark Indonesia?.
23 Januari 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H