Indonesia dengan ragam permasalahan pelik di berbagai bidang sehingga kepemimpinan yang jauh dari sikap negarawan, semakin terlihat nestapa dengan datangnya tsunami finansial yang turut menghantam ruang-ruang ekonomi di Indonesia.
Kemanusiaan yang adil dan beradab semakin jauh dari kata terwujud apabila kita melihat fakta-fakta yang terjadi di masyarakat. Dari sisi hukum kita dihadapkan kepada ketidakadilan hukum seperti dua mata pisau tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Hal ini terbukti dengan teror air keras type H2SO4 (asam sulfat) terhadap penyidik senior KPK merupakan sejarah kelam luar biasa bagi Indonesia, hingga tindakan kriminalisasi pegawai lembaga independen bentukan orang nomor satu negeri ini. Bukti lain banyaknya para pelaku korupsi yang merampok miliaran bahkan triliunan rupiah uang rakyat hanya mendapat hukuman ringan, tentu sangat tidak sepadan dengan pencuri sandal jepit, pencopet, pencuri popok bayi hingga pencuri kota amal masjid amuk massa didapatinya.
Sifat negatif orang indonesia menurut pandangan Mochtar Lubis begitu menggelitik, dan realitanya kita lebih mudah mengoreksi orang lain dari pada introspeksi diri dari sifat yang terkadang tanpa disadari merugikan orang lain. Manusia Indonesia zaman perkembangan teknologi informasi sekarang menjadi kurang sabar, mau menang sendiri, mau dilayani tidak mau melayani termasuk dalam birokrasi.
Manusia indonesia juga tukang menggerutu, tetapi menggerutu tidak berani secara terbuka, hanya berani jika diantara komplotan yang sejalan dengan visi dan misinya. Mudah iri, dengki, angkuh, serakah terhadap orang lain yang menurutnya lebih maju, mampu dari dia, senang melihat orang lain susah, serta susah melihat orang lain senang. Akibatnya dengan segala cara ditempuh guna menghabisi orang yang tidak disukainya, khawatir kebusukannya terbongkar, pepatah bijak berpesan “Sepandai-pandainya menyimpan bangkai, akhirnya tercium juga”.
Steorotip ini tentu saja tidak semuanya benar, dan tidak semuanya salah. Manusia indonesia seperti yang dituliskan Mochtar Lubis lebih kuat lagi aktualitas dan relevansinya. Beberapa hal penyebabnya ialah pendidikan serta sistem dan struktur politik yang ikut mempengaruhi sifat-sifat buruk tersebut.
Negarawan Emha Ainun Nadjib mengatakan, “Kreatifitas berpikir orang barat harus kita tiru, tapi ekses dari kebudayaan teknologis yang terlalu memanjakan kebinatangan, sebaiknya kita cegah sejak sekarang.”
“Setiap Badan Perencanaan pembangunan harus melibatkan para agamawan, budayawan, negarawan, filosof, seniman,orang-orang kecil awam yang arif. Kita jangan hanya dipimpin oleh tender-tender.”
Presenter senior sebuah stasiun televisi di Indonesia Najwa Shihab menuturkan, “Mencari komisioner KPK butuh negarawan, mereka yang tahu apa yang jadi kebutuhan. Negarawan yang taat konstitusi, bukan menyerah pada selera politisi.”
15 April 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H