Nasehat mencengangkan ini saya peroleh dari group jejaring sosial media milik teman seprofesi. Dalam penayangan ini tidak ada tendensius pribadi, hanya mengungkapkan apa yang seharusnya diungkapkan oleh Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hehamahua.
Beliau mengungkapkan satu keresahan terkait kondisi yang sebenarnya bahwa angka korupsi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ada di KPK meresahkan. “Jujur, meresahkan angka korupsi yang ada di KPK, jika mengikuti semuanya 60 persen dari 4,2 juta PNS harus kami tangkap. Masalahnya penjara jadi tidak cukup, biaya besar untuk penindakan, mereka (yang korupsi) akan korupsi lagi setelah keluar (penjara),” ujar dia.
Menurut Hehamahua, apa yang dilakukan para PNS tersebut mungkin bukan karena awalnya memiliki niat untuk korupsi. Namun, karena sistem yang buruk dilakukan berulang-ulang menjadi peluang, maka korupsi terlaksana.
Sementara itu, dalam puisi lainnya Taufiq Ismail juga mengungkapkan keresahannya akan hilangnya budaya malu sehingga membuat orang tidak malu melakukan perbuatan tercela yang sebelumnya dianggap tabu dalam masyarakat, termasuk melakukan korupsi yang berarti mencuri.
Kali ini ia membacakan puisi berjudul “Mencari Sekolah Yang Mengajarkan Rasa Malu”, di mana inti dari puisi tersebut menceritakan bagaimana seorang ibu kesulitan mencarikan sekolah bagi anaknya yang mengajarkan rasa malu.
Sekolah A menyatakan tidak mengajarkan rasa malu, pada saat menyontek guru-guru kami pura-pura tidak tahu. Sedangkan pada sekolah B juga tidak mengajarkan rasa malu, karena ketika UAN (ujian akhir nasional) ada guru ditugaskan diam-diam memberikan jawaban kepada murid.
Dan sekolah C yang juga tidak mengajarkan rasa malu, kepala sekolah tidak dapat memenuhi permintaan ibu untuk mengajarkan rasa malu karena sudah terlampau lama tidak mengajarkan rasa malu karena murid sekolah tersebut harus seratus persen lulus.
Itu harus ditempuh dengan segala cara. Sedangkan dalam penggalan puisi berjudul “Kini Kita Teringat Pada Pancasila Yang Dilupakan”, Taufiq Ismail berupaya menggambarkan betapa Pancasila kini telah dilupakan.
Begitu hebatnya setiap sila dari Pancasila membentuk karakter bangsa, namun kini terlupakan, terabaikan, dilecehkan, tidak dipedulikan, bahkan tidak ingin dilihat.
“Ketika kita teringat Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Habis-habisan kita mengabaikannya.”
“Kita hidup sesudah bendungan besar roboh satu dasawarsa silam. Suaranya gemuruh menderu-deru ke seluruh penjuru.”