Masih terbayang pelukan Hanif sang juara Pencak Silat Asian Games 2018. Pelukannya selalu menjadi buah bibir diberbagai media. Pasalnya berkat ulahnya tersebut kedua kandidat Presiden Republik Indonesia ini mampu menyatu ditengah prahara konflik kepentingan elite politik pribadi maupun golongan.
Sejuk sekali menyaksikan pemandangan itu. Hanif, Pipiet, Wewey dan pahlawan olahraga lainnya, tunjukkan pada Dunia bahwa Indonesia bisa berprestasi.
Namun, tidak demikian dengan kasus yang menimpa Meiliana, dia dihukum 18 bulan hanya karena mengeluhkan lantunan azan Isya' dari pengeras suara. Atas keluhannya itu, Meiliana dituding melakukan penodaan dan penistaan agama. Dan lagi-lagi korbannya adalah dari kalangan minoritas.
Membaca kisah MEILIANA yang dihukum 18 bulan hanya karena mengeluhkan suara adzan isya' dari masjid di dekat rumahnya, membuat sebagian orang memanfaatkan situasi yang memviralkannya sehingga perundungan pun bertubi-tubi mengarah pada dirinya. Dari sekian banyak perundung so pasti didominasi kaum mayoritas muslim, termasuk saya sendiri. Ini yang membuat perasaan saya terenyuh.
Kesampingkan muslim non muslim, yang jelas ketidakadilan hukum di negeri ini kembali memakan korban. Hakim dan Jaksa yang tidak punya nurani kembali memporak-porandakan nalar sehat kita semua.
Kisah duka MEILIANA yang berasal dari Tanjung Balai Sumatera Utara ini dimulai pada tanggal 22 Juli 2016 lalu. Dia hanya sekedar mempertanyakan kepada tetangganya mengapa pengeras suara speaker di masjid terdengar lebih keras daripada biasanya. Pertanyaan sederhana dari perempuan keturunan Tionghoa ini rupanya ditanggapi beberapa oknum-oknum cupet nalar dengan membabi buta. Lalu meledaklah emosi kaum cupet nalar dan logika ini dengan ramai-ramai membakar 14 Vihara di Tanjung Balai. Semua mereka lakukan dengan dalih membela agama yang ternista. Mereka merasa agama Islam telah ternoda dengan pertanyaan lugu dari Meiliana.
Lalu MEILIANA yang dianggap "pemicu" kerusuhan terburuk dalam sejarah kota Tanjung Balai ini ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Dan Selasa, Â 21 Agustus 2018, Hakim memvonis 18 bulan penjara Meiliana sesuai dengan tuntutan Jaksa. Dan anehnya para gerombolan liar yang membakar 14 Vihara itu hanya divonis 3 bulan. Quo Vadis keadilan di negeri ini. Alangkah lucunya negeri ini
Jujur sebagai seorang MUSLIM, saya malu sendiri dengan kejadian ini. Hukum ditegakkan secara miring hanya karena desakan massa. Organisasi radikal Islam di Sumatera Utara dengan ganas menekan aparat penegak hukum. Hebatnya MUI Sumatera Utara yang seharusnya menjadi penengah malah mengeluarkan fatwa penistaan agama untuk Meiliana. Wallahu 'alam bishowaf.
Meiliana, dan banyak lagi saudara-saudara saya sebangsa yang kebetulan tidak beragama sama seperti saya telah banyak menjadi korban. Entah siapa lagi yang akan menjadi korban berikutnya.
Hukum di negeri ini harus total dirombak. Bukan sekedar merivisi pasal-pasalnya, tapi merombak total moral dan nurani aparat penegak hukumnya. Jangan pernah hukum takluk oleh tekanan publik. Ini akan menjadi preseden buruk untuk anak cucu kita. Dan jangan biarkan negeri ini dikuasai kaum radikalis yang selalu ingin memonopoli kebenaran. Ini negeri kita semua, dengan beragam suku, agama dan budaya. Bukan negeri yang dipaksakan menjadi satu warna.
Meski tak akrab, bahkan tak pernah bertatap muka, bu Meiliana Maafkan saya yang tidak bisa berbuat apa-apa. Saya hanya bisa bersuara dalam diam melalui tulisan sederhana ini. Saya hanya berharap suara hati saya ini bisa disuarakan secara keras oleh sahabat-sahabat saya yang berhati sama seperti saya.