Mohon tunggu...
Adi Pujakesuma
Adi Pujakesuma Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

KEBENARAN HANYA MAMPU DILIHAT MELALUI MATA KEMATIAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penilaian Kinerja Pegawai itu Prestasi, Bukan Asal Bos Senang

26 Agustus 2017   09:35 Diperbarui: 26 Agustus 2017   15:50 2205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kalau diamat-amati atau bahkan diteliti dengan metode angka-angka, individu sudah cukup banyak Pegawai Negeri Sipil (PNS) kini berganti Aparatur Sipil Negara (ASN). Pergantian nama itu bertujuan untuk melakukan perbenahan sistem birokrasi di negeri ini. Mulai tingkat pusat hingga daerah melalui pengelolaan perundang-undangan dan peraturan terkait kinerja Pegawai. Akan tetapi hasilnya NIHIL. Sama saja, negara justru semakin rawan dari berbagai penyimpangan-penyimpangan perilaku "oknum" atau biasa disebut koruptor itu sendiri, menggerogoti anggaran negara akhir tahun tanpa target bersifat ceremony. Alasan itu ditempuh agar tidak ada pengembalian anggaran.

Dari ribuan ASN masing-masing memiliki potensi untuk dihargai, bahkan saya berani bertaruh lebih banyak potensi untuk diberikan reward dibanding punisment. Kendalanya pada potensi mana yang dilirik pimpinan? Pertanyaan inilah yang harus di jawab dengan baik dan tepat tanpa meniadakan obyektivitasnya.

Saya mengilustrasikan perilaku dan karakter seorang Pegawai tetap atau tidak tetap pandai mencari muka, asal bisa membuat pimpinan senang, merasa dibutuhkan justru mendapat reward. Lantas masuk kerja seenaknya, bukankah itu sama saja korupsi waktu, korupsi tidak melulu urusan uang, Sebaliknya pegawai penentang arus memiliki dedikasi, bertanggungjawab terhadap kerjaan malah di-punishment. Organisasi itu professional, akan tetapi tidak menutup kemungkinan hal-hal kolusi kekeluargaan berpotensi "benalu" bagi nama baik organisasi terlibat didalamnya.

Dari sudut pandang manakah selayaknya pimpinan memihak terhadap kinerja bawahannya. Apakah pegawai yang pandai menjilat atau pegawai berbakat dalam menjalankan kerjaan yang mendapat reward. Dalam organisai Pemerintah ibarat sebuah keluarga ada kesamaan pandangan, fikiran, rasa dan sikap oleh seluruh anggota keluarga terutama suami dan istri. Suami sebagai seorang pimpinan tertinggi keluarga (leadership) harus mampu memposisikan sebagai pemimpin yang visioner, kuat dan mampu menghadapi bebagai kemungkinan yang akan menganggu dan merugikan keluarga terutama dalam meberikan perlindungan dan kenyamanan terhadap anggota keluarga, atau tidak kedua-duanya.

Sikap yang harus ditunjukkan oleh seorang leader adalah mampu mengerahkan, mengelola dan mengambil keputusan secara matang dan proporsional sehingga seluruh keputusan dan sikap yang ditampilkan tidak membebankan kerjaan yang tidak sesuai tupoksinya, bukan langsung mengutamakan kepentingan pribadi atau anggota keluarga tertentu (pilih kasih). Jika sikap tidak obyektif ini ditunjukkan oleh seorang leadership dihadapan bawahannya, maka disinilah akan muncul benih-benih negatif yang akan berpotensi memicu konflik, menganggu stabilitas organisasi. Pemimpin yang bertanggungjawab dan mengayomi semua kepentingan bawahan, serta tidak mengedepankan ego pribadi dan kelompok tertentu, itulah yang sebenarnya diharapkan organisasi dalam meraih visi dan misi.

Birokrasi Indonesia secara umum masih belum menjalankan prinsip-prinsip dalam berkeluarga yang sesungguhnya, karena masih ditungangi oleh berbagai kepentingan pribadi, kelompok dan belum matangnya orientasi dalam menjalan birokrasi yaitu bekerja secara jujur, profesional dan menjadi pelayan publik. Selalu saja mengutamakan kepentingan pribadi/golongan dan persaingan masih membayang-bayangi birokrasi apalagi kepentingan tersebut sudah jauh melenceng berorientasi tentang uang dan jabatan. Jika hal itu yang tumbuh dapat dipastikan keruntuhan dinasti didepan mata.

Untuk melihat prestasi pegawai memang tak semudah membalik telapak tangan. Diperlukan proses yang tidak cepat karena hal ini berkaitan dengan corporate culture sebuah Instansi/lembaga Pemerintah. Bagi Instansi/Lembaga Pemerintah yang sejak awal menerapkan komitmen akan pentingnya apresiasi terhadap pegawai, memantau prestasi kinerja pegawai bukanlah hal sulit karena ini sudah menjadi budaya kerjanya.

Harus diakui, dalam penerapan reward atau punishment terdengar suara-suara sumbang dari sebagian pegawai terhadap penerima reward. Terlepas dari bisikan-bisikan syetan tersebut, masih kental unsur kolusi, nepotisme. Padahal dalam Birokrat pada hakikatnya tidak mengenal kekeluargaan atau siapa dekat dia dapat mengenyampingkan sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business prosess) dan sumber daya manusia aparatur.

Berbagai permasalahan/hambatan yang mengakibatkan sistem pemberian rewarddan punishment berjalan di tempat atau sekedar obrolan panjang menjelang istirahat siang lalu pulang. Contoh ketika seorang Kepala Subbidang/Bagian suatu Instansi/Lembaga Pemerintah mempromosikan kenaikan pangkat stafnya. Kepala Subbidang/Bagian ditanyai oleh atasannya, apa yang mendasari usul tersebut. Pejabat Penilai menjawab dengan penuh semangat bahwa stafnya itu dinilai sebagai pegawai berprestasi, karena memiliki sikap jujur, disiplin, bertanggungjawab, ulet, bekerja keras.

Selanjutnya dengan raut setengah kaget dan tidak percaya dengan jawaban atasan pejabat penilai tersebut menjelaskan, "bahwa sikap jujur, disiplin, bertanggungjawab, ulet, bekerja keras bukanlah suatu kelebihan atau prestasi, melainkan hal yang biasa-biasa saja. Karena selayaknya seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS)  atau ASN memiliki sikap seperti itu?." Tanpa hujan tanpa badai PNS yang selama ini menganggap dirinya paling dibutuhkan dan lebih banyak mencari muka didepan atasan pejabat penilai, tiba-tiba mendapat kenaikan pangkat tanpa sepengetahuan Kepala Subbidang/Bagian sebagai pejabat penilai. Hai ini dapat dimaklumi  ditengah kepemimpinan yang tidak tegas atau jarang melakukan aktivitas berbasis Professionalisme.

Berangkat dari hal tersebut, kiranya perlu diterapkan kepada segenap pegawai makna yang sebenarnya dari hasil kerja yang telah dicapai pegawai yang bersangkutan, apakah hasil kerjanya termasuk kategori biasa-biasa saja atau luar biasa. Karena itu, Penilaian Kinerja berbasis kompetensi mulai diterapkan sepenuh hati, harus mencerminkan hasil sebenarnya dari pekerjaan pegawai, dan disepakati secara tegas pada awal tahun. Penilaian Kinerja sedapat mungkin memaksimalkan item-item yang sifatnya kuantitatif atau terukur bukan asal boss senang.

26 Agustus 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun