Korupsi tidak diragukan menjadi penyakit laten yang mengkhawatirkan di Indonesia. Kerugian yang diakibatkan kejahatan ini tidak hanya bersifat materiil, namun juga berdampak pada moralitas dan marwah bangsa. Secara materi korupsi telah merugikan hingga triliunan rupiah. Lebih dari itu, praktik korupsi juga membuktikan akutnya dekadensi moral di indonesia. Nilai kejujuran, kepercayaan, serta kehormatan luntur seketika akibat berjangkitnya praktik ini pada setiap level kehidupan masyarakat.
Kejahatan merupakan fenomena yang menjadi keniscayaan di dunia ini. Bila ada kebaikan tentu saja ada kejahatan, namun, bukan berarti kejahatan dapat dibiarkan begitu saja. Meski tidak dapat dibasmi dengan tuntas, upaya untuk membasmi kejahatan merupakan hal wajib yang harus dilakukan. Setidaknya upaya tersebut dapat mereduksi terjadinya kejahatan. Â Sayangnya sebuah upaya yang dimaksud tampak kurang maksimal terhadap pengungkapan penyelewengan mega proyek e-KTP hingga proyek pengadaan kitab suci Al Qur'an. Kejahatan juga menerpa praktisi KPK Novel Baswedan, sampai seratus hari lamanya kasusnya tak kunjung jelas. Sejak peristiwa teror penyiraman air keras secara fisik terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terjadi pada 11 April 2017 silam masih gelap gulita.
Novel Baswedan, disiram air keras oleh dua orang "misterius" yang mengendarai sepeda motor selepas menunaikan Sholat Subuh di masjid dekat kediamannya mengundang kecaman dari berbagai pihak 'yang peduli.' Penyiraman tersebut mengenai wajah. Luka parah pada kedua mata Novel akibat siraman air keras tak cukup tertangani secara maksimal di Indonesia. Perjalanan kasus ini menggantung, entah mau dibawa kemana aksi anarkis ini menuju ke arah lebih terang benderang. Belum satu pun pelaku yang ditangkap oleh polisi.
Sangat berbeda ketika penegak hukum menangani kasus kejahatan kelas teri, seperti maling sandal jepit, maling ayam, copet, perampok, pencurian rumah, mengutil popok bayi, narkoba, teroris, pengganda uang, bahkan pemerkosaan begitu mudahnya terungkap. Sementara kasus Novel hingga kini masih diselimuti misteri. Jika demikian faktanya, benar yang dikatakan banyak orang bahwa hukum di Indonesia itu mudah dibeli, takluk oleh lembaran rupiah, cenderung 'TAJAM KEBAWAH, TUMPUL KEATAS'.
Dugaan Novel ada "orang kuat" menjadi aktor intelektual atas aksi pengecut tersebut. Bahkan, dari informasi yang beredar seorang jenderal polisi ikut terlibat. Dalam sebuah wawancara kepada Time, Novel mengatakan bahwa serangan itu terkait sejumlah kasus korupsi "kakap" yang ditanganinya.
Upaya pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun penyerangan terhadap para pekerjaan Novel Baswedan memang bukan sekali terjadi. Selain upaya pelemahan melalui hak angket dan revisi UU KPK yang dilakukan oleh lembaga legislatif, serangan fisik seperti penembakan telah menimpa sejumlah karyawan KPK. Kebebasan KPK dalam menjalankan tugasnya sempat tersandung oleh gesekan dengan lembaga penegak hukum lain seperti Kepolisian yang berujung pada kriminalisasi pimpinan KPK.
Tanggal 20 Juli lalu genap seratus hari penyerangan Novel Baswedan yang membuat ia harus vakum bekerja selama beberapa bulan, namun kepolisian belum juga dapat mengungkap pelaku penyiraman. Untuk mengingatkan kembali khalayak umum, aparat penegak hukum jangan tutup mata, ingat bahwa kasus ini belum tuntas secara umum. Upaya penyelesaian kasus Novel dan membentengi KPK perlu mendapat dukungan dari semua pihak, bukan pihak yang 'bertepuk tangan' atas upaya pelemahan terhadap Novel Baswedan maupun KPK. Harapan terbesar ada dipundak Presiden Republik Indonesia dan jajarannya untuk mewujudkan perubahan NKRI yang lebih bermartabat.
25 Juli 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H