Ketimpangan tampang kita tumpang tindih dimana kesejahteraan masyarakat hanya menjadi jargon-jargon pilkada dengan segudang janji angin syurga untuk mendulang suara. Maka tampang kita memang timpang. Lalu kita terpuruk pada lobang yang sama, sebab selama ini tumbuhnya perekonomian memang tumbuh, akan tetapi pertumbuhan tersebut hanya dinikmati kelompok tertentu. Inilah resiko yang harus dihadapi sebab seiring perjalanan waktu pertumbuhannya didominasi segelintir orang yang mengatas namakan investor. Disini, watak ketidakadilan ekonomi cukup kental.
Ketimpangan sosial kian jelas terlihat, bukan hanya soal angka dan statistik pertumbuhan ekonomi kerakyatan, sebab setiap hari kita menjumpainya di lapangan sosial. Investasi memang berkembang dimana-mana (Hotel, Mall, supermarket, Hypermarket, Pusat Grosir, Property, sarana hiburan kelas jetset, industri dst). Tetapi sayangnya semua itu hanya dapat dinikmati kalangan berkantong tebal saja. Sementara kaum miskin papa, dhuafa, orang pinggiran yang meminta-minta tidak mampu menikmati fasilitas-fasilitas mewah tersebut. Untuk mengakses baginya hanya ilusi lewat mimpi-mimpi.
Hingga detik ini korupsi merupakan ketimpangan sangat luar biasa, merupakan makanan sehari-hari, akan tetapi tidak pernah mengenyangkan. Korupsi juga merupakan sampah paling elite yang mengancam kesehatan, masa depan pendidikan masyarakat, solidaritas korupsi tidak pernah kabur, semakin banyak orang berjihad memberantas korupsi. Bukan memudar sebaliknya perkembang biakannya semakin subur. Ibarat memberangus sarang tikus akan tetapi mustahil dimusnahkan.
Kemunculan restoran-restoran tentu mempermudah orang-orang mencari makan saat perut lapar, cukup membayar dengan cara moderen alias kartu gesek. Disaat yang bersamaan pemandangan meyedihkan kita jumpai, terdapat sekumpulan orang-orang kurang “beruntung” menyerbu rejeki di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah. Tanpa memandang rasa jijik, tidak dirasakannya bau busuk mereka cekatan menggesek, menggaruk puing-puing rupiah barang-barang sisa-sia pembuangan demi mengganjal isi perut.
Di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, seorang pejabat eksekutif, publik figure, selebritis sanggup menghabiskan uang puluhan jutaan rupiah hanya untuk bermain golf tidak kurang dua jam. Tetapi ditempat lain, lagi-lagi kita disuguhi pemberitaan betapa sulitnya seseorang memerlukan uang Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) hanya untuk membeli makan.
Ulasan diatas menandakan bahwa satu kenyang, seribu kelaparan. “Yang lapar” acapkali menjadi tumbal “yang kenyang.” Mengutip kalimat bijak, “hidup kita terbuat dari kematian orang-orang lain yang tak membisu.”
Ketimpangan bukanlah fenomena fatarmogana. Ia adalah fakta kebengisan suatu wilayah negara. Ketimpangan tampang bukanlah sesutu yang terselubung. Bukan pepesan kosong melalui prosentase. Dan itu tidak bisa diubah hanya dengan koar-koar retorika diatas mimbar atau blusukan sementara saja.
29 April 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H