Kebobrokan moral di negeri ini, tidak terjadi karena ulah manusia, tapi karena tetesan dosa dari “yang diatas”, bila “yang dibawah” rusak jangan mencari-cari kesalahan dalam “yang dibawah” sendiri, tapi percayalah kesalahan itu datangnya dari “yang diatas”. Ketika masyarakat kecil seperti Munir berusaha melancarkan serangan balik, perlakuan yang diterima selalu sadis dan berlebihan, orang-orang seperti Munir dan sebagainya dinamai kaum “sparatis”. Sebuah label yang membuat absah jika kaum marjinal dipangkas, mendapatkan punishment dan dihabisi.
Tidak seorang pun yang pernah berfikir bakal menjadi korban “kriminalisasi”apalagi menjadi korban kriminalisasi bermotifkan politis. Nyanyian Munir Pendiri Komnas HAM berujung duka tat kala para petinggi elite partai mulai gerah akan nyali Munir menguak konspirasi. Tapi itulah yang menjadi dan dialami oleh aktivis HAM.
Kebebasan mengeluarkan pendapat sudah tidak lagi merdeka, menjadi sesuatu yang harus diperjuangkan antara hidup dan mati. Menimbulkan tanda tanya besar, Almarhum Munir kecil-kecil cabe rawet harus meninggal dunia dalam perjalanan di pesawat menuju Belanda. Perjalanan Munir ke Negeri Kincir Angin itu untuk melanjutkan studi S2 di Universitas Utrecht,Belanda. Mantan Direktur Eksekutif LSM Imparsial itu ditemukan tak bernyawa di kursi pesawat 2 jam sebelum pesawat mendarat di Armsterdam.
Menurut ahli forensik dari Universitas Indonesia yang menangani kasus Munir, Mun'im Idris, Munir positif meninggal karena racun arsenik. Temuan ini senada dengan Institut Forensik Belanda (NFI) yang membuktikan bahwa beliau meninggal akibat racun arsenik dengan jumlah dosis yang fatal. Hasil penyelidikan Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri yang menyatakan Munir tewas karena di racun.
Suara kebenaran seperti sekarang ini masih menjadi sesuatu yang mahal. Yang lebih mengherankan lagi, hanya karena seorang Munir Tim Pencari Fakta (TPF) kasus pembunuhan aktivis HAM di era pemerintahan Presiden SBY hilang. Dokumen sepenting itu bisa hilang atau sengaja dihilangkan di dalam Lembaga Negara, ujung-ujungnya lempar batu sembunyi tangan, saling tuding “takut” kebusukannya terbongkar, kok bisa?.
Salinan kerja keras TPF pun meragukan keasliannya, jangan-jangan ada lembaran yang hilang juga. Konsentrasi pemerintah terkait kasus Munir saat ini adalah berusaha keras menemukan dokumen laporan TPF “dikabarkan” hilang, selanjutnya mengambil terobosan yang tidak pernah dilakukan oleh pemerintah sebelumnya, maka sudah sewajibnya pemerintah melakukan niatan melepaskan diri dari budaya “panas-panas tai ayam” bukan malah membangun berbagai statement yang justru memancing berbagai opini publik.
Bukankah TPF sudah sangat berhati-hati membuat dokumen penting kasus pembunuhan aktivis HAM-Munir. Namun, sekarang atas hilangnya dokumen asli tersebut, kecermatan mereka untuk menghindari kemungkinan pemalsuan atau pemutar balikkan fakta atau pembelokkan kata-kata di khianati.
Heran!!!
1 November 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H