Ditengah banyaknya kejadian penutupan mesjid dan gedung milik Jamaah Ahmadyah Indonesia, juga ditutupnya puluhan gereja maupun gedung pertemuan dan sekolah yayasan Kristen dan Khatolik. Di Indonesia saat ini juga sedang “musim” penurunan semua simbol-simbol agama minoritas sebagai akibat ketakutan tak beralasan, bahwa masyarakat sekitar gedung-gedung tersebut akan menjadi murtad. Menyusul Fatwa MUI yang mengharamkan Pluralisme agama, mencuatkan kembali fatwa “HARAM” terhadap film yang berbau pluralisme berjudul “Tanda Tanya”.
Konon, kemunculan fatwa HARAM dari MUI terhadap film Tanda Tanya adalah pemahaman yang berbeda pada narasi :
"Semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama: mencari satu hal yang sama dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan."
Jika bagian ini yang menjadi obyek persoalan yang ditanggapi, dan menjadi tanda tanya bagi saya :
Benarkah TUHAN yang menciptakan umat Islam, Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu Chu dan ratusan agama lainnya di dunia ini adalah TUHAN yang berbeda?
Benarkah IA yang menciptakan langit dan bumi, untuk orang yang baik dan orang yang jahat adalah TUHAN yang berbeda?
Benarkah tujuan semua mahluk ciptaan TUHAN adalah surga yang berbeda?
Perbedaan adalah rahmat. Keberagaman seharusnya membawa kemaslahatan bagi masyarakat bukan malah memecah anak bangsa.
Al-Qur’an tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya. Islam melarang penganutnya mencela TUHAN dalam agama manapun. Maka kata tasamuh (dalam bahasa Arab) atau toleransi (dalam bahasa Indonesia) bukanlah “barang baru” dalalm Islam. Tasamuh sudah diaplikasikan dalam kehidupan sejak agama Islam ada.
Hendaklah agama bukan menjadi sebuah nama yang membuat gentar, menakutkan, dan mencemaskan. Pandangan keagamaan yang cenderung anakronostik sangat berpotensi untuk memecah belah dan saling klaim kebenaran sehingga menimbulkan berbagai macam konflik.
Sepanjang kita melihat perbedaan pandang sebagai hal yang memperkaya sudut pandang kita, kita tetap dapat hidup berdampingan dengan rukun.Bayangkan kebosanan yang terjadi jika semua mahluk di dunia ini dipaksa harus menyukai warna pink. Dan mereka yang bukan pink, dianggap “murtad”.
Toleransi dan pluralisme semestinya dimaknai secara lebih sederhana, tanpa harus membawa-bawa keimanan (aqidah). Toleransi agama seyogyanya berhenti pada batas sosial (akhlak).
Ketika seseorang beriman dengan sepenuh hati terhadap agamanya (aqidah) dan menghormati agama lain, itulah toleransi dan pluralisme. Berbicara tentang keimanan, meyakini dan menganggap bahwa agama yang diimani adalah agama yang benar memang kewajiban.
Orang yang tidak memiliki keyakinan bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang benar justru keimanannya perlu dipertanyakan.
Namun ketika berbicara tentang toleransi, maka seyogyanya dimaknai sebagai penerimaan atas keragaman agama tanpa melibatkan keimanan (aqidah) agamanya.