Kemudian bergeser dari stigma dalam aspek gender, yang juga punya dampak buruk dan wajib dilawan adalah stigma dalam kesehatan mental. Untuk memperjelas konteks, gangguan mental atau kejiwaan memiliki beberapa jenis seperti bipolar, schizophrenia, depression, anxiety, insecurity, dan masih banyak kategori gangguan kejiwaan lainnya.
Di Indonesia, pada tahun 2017, ada sekitar 8,4 juta orang yang mengidap kecemasan atau anxiety, dan sekitar 6,6 juta orang mengalami depresi. Hingga tahun 2020? Jumlahnya bertambah, bahkan mungkin aku atau kamu mengalaminya, mungkin kita belum berani meminta tolong bantuan profesional. Ini dampak stigma yang menurutku paling fatal, karena masih sangat banyak orang beranggapan bahwa kalau ada yang ke psikolog, ke psikiater, atau bahkan mencoba speak up mengenai gangguan mentalnya; mereka dianggap gila. Mereka dianggap sakit jiwa.
Menunjuk orang dan mencemooh dengan istilah-istilah gangguan mental di atas ternyata cukup enteng dilakukan orang-orang di Indonesia, atau memandang sebelah mata menganggap orang tersebut 'gila', bukannya mencoba untuk membantu. Irisannya lalu sedikit banyak 'menyenggol' bullying. Menganggap yang terdampak gangguan mental adalah orang aneh, dijauhi, tidak didengarkan, tidak didampingi, atau bahkan diolok-olok dengan kata-kata 'gila' 'bipolar' dan sebagainya. Dampak terparahnya? Banyak yang takut mencari pertolongan, tidak tahu mau kemana, lalu memilih diam dan parahnya hingga bunuh diri. Ya, jika ditarik lebih lebar, dampak stigma bisa separah itu.
Sudah saatnya kita melawan stigma yang ada di Indonesia. Suara-suara yang menyumbang konstruksi sosial dan membuatnya seolah benar, padahal sering kali nyatanya sesat. Sudah saatnya kita menjadi manusia yang merasakan segala emosi tanpa perlu direpresi. Sudah saatnya kita mengeluarkan potensi dan jati diri tanpa perlu dilapisi keharusan bertindak sesuai gender. Melawan stigma artinya belajar menjadi manusia yang lebih rasional dan berempati, tanpa harus tunjuk cap ke sana dan sini.