Mohon tunggu...
Sarah Roudhatun Nadya
Sarah Roudhatun Nadya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi, Universitas Pendidikan Indonesia

INFJ

Selanjutnya

Tutup

Film

Peran Laki-laki dan Perempuan dalam Film Ki & Ka Mematahkan Konstruksi Sosial Masyarakat yang Kental

20 September 2023   21:38 Diperbarui: 20 September 2023   22:44 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Setiap manusia memiliki perannya masing-masing, dalam hal ini terdapat peran yang bersifat kodrati dan peran yang dibentuk oleh konstruksi sosial. Peran kodrati adalah hal-hal yang terdapat pada diri seseorang dan merupakan pemberian dari Tuhan antara lain seperti alat reproduksi dan hal-hal lainnya yang sudah melekat baik pada laki-laki maupun perempuan dan tidak bisa diubah. Peran yang terbentuk oleh kontruksi sosial masyarakat seperti laki-laki harus mencari nafkah sedangkan perempuan harus di rumah menjadi ibu rumah tangga, laki-laki tidak wajib membantu pekerjaan rumah karena sudah menjadi tugas seorang perempuan untuk mengurus pekerjaan rumah dan pendidikan anak, dan sebagainya (Alfirahmi & Ekasari, 2018).

Pada film Ki & Ka, konstruksi sosial masyarakat dipatahkan karena Kia berperan sebagai pencari nafkah sedangkan Kabir mengurus pekerjaan rumah. Bermula pada pertemuan yang tidak sengaja dalam sebuah pesawat yang memperlihatkan Kabir yang sedang menangis lalu Kia melihatnya. Kabir sadar bahwa ia sedang diperhatikan dan meminta maaf karena ia menangis. Scene ini memperlihatkan bahwa dalam konstruksi sosial masyarakat, laki-laki dianggap tidak pantas menangis sehingga ia perlu meminta maaf atas kesedihannya, padahal setiap manusia berhak untuk menangis sebagai bentuk bahwa manusia memiliki perasaan.

Pertemuan Kia dan Kabir terus berlanjut hingga pada akhirnya mereka berbincang mengenai kehidupannya. Kia merupakan seorang perempuan yang memiliki ambisi dan target dalam karirnya, sedangkan Kabir tidak memiliki target karena yang ia ingin lakukan hanyalah seperti ibunya, yaitu IRT (Ibu Rumah Tangga) yang ia anggap sebagai seniman. Keduanya dibesarkan di dalam keluarga yang memiliki latar belakang yang berbeda. Kia yang hanya tinggal dengan ibunya yang single parent dan menjadi perempuan yang teratur dengan banyak capaian karena perekonomian yang tidak begitu buruk tetapi tidak baik pula. Kabir besar di keluarga yang perekonomiannya mapan, tetapi kedekatannya dengan sang ibu serta melihat bahwa IRT sangatlah hebat kemudian memutuskan untuk menjadi seperti ibunya, bukan menjadi penerus bisnis ayahnya.

Keputusan Kabir tentu ditentang oleh ayahnya karena ia merasa bahwa laki-laki itu harus bekerja dan menafkahi istrinya, bukan menjadi orang yang mengurusi pekerjaan rumah. Namun, perbedaan ini tidak menjadi masalah bagi keduanya hingga pada akhirnya mereka pun menikah. Pernikahan Kia dan Kabir pada awalnya berjalan dengan baik, keduanya menjalani perannya masing-masing. Kia terus mengejar targetnya hingga mencapai posisi yang dia inginkan, sedangkan Kabir membantu Kia dalam urusan pekerjaan rumah. Dalam perjalanannya mereka berkomitmen untuk tidak memiliki anak karena Kia merasa jika mereka memiliki anak, maka itu akan menghambatnya untuk mencapai karir yang dia inginkan. Dinamika pernikahan tentu dirasakan oleh keduanya, tetapi pada akhirnya mereka menemukan cara untuk mengatasi masalah yang dihadapi dengan cara memperbaiki komunikasi dan saling memahami satu sama lain.

Film Ki & Ka memperlihatkan bahwa konstruksi sosial masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan begitu kental sehingga ketika terdapat sesuatu yang tidak sesuai dengan konstruksi sosial yang sudah ada dianggap tidak lazim. Meskipun demikian, kesetaraan gender perlu digaungkan bukan karena agar salah satu mendapatkan perlakuan lebih baik, tetapi agar tidak ada satupun yang dirugikan. Pada hakikatnya semua manusia berhak mendapatkan perlakuan yang sama tanpa adanya diskriminasi (Larasati & Ayu, 2020). Misalnya, perempuan yang ingin mendapatkan pendidikan yang tinggi seringkali mendapatkan cibiran bahwa nanti pun perempuan akan mengurus rumah sehingga tidak perlu memiliki pendidikan yang tinggi. Sejatinya setiap manusia berhak untuk memperoleh pendidikan yang layak dengan tujuan dari lingkup terkecil adalah untuk mencerdaskan dirinya sendiri. Ilmu yang didapatkannya dari pendidikan akan berpengaruh terhadap pola pikirnya yang lebih matang dan tentu akan mempermudah perempuan dalam kehidupannya termasuk pernikahan.

Selain itu, film ini mengajarkan bahwa peran apapun yang dimiliki oleh laki-laki maupun perempuan baik dalam hal pekerjaan maupun pernikahan, perlu adanya sikap saling menghargai. Jika memang terdapat pembagian tugas dalam rumah tangga, maka hargailah satu sama lain dan jika salah satu mendapat kesulitan, dukung dan jadilah support system yang baik.

Daftar Pustaka

Alfirahmi, & Ekasari, R. (2018). Kontruksi Realitas Sosial Perempuan Tentang Gender Dalam Pembentukan Karakteristik Anak Terhadap Pemahaman Gender. Mediakom: Jurnal Ilmu Komunikasi, 2(2), 250--262. https://doi.org/10.35760/mkm.2018.v2i2.1896

Larasati, A. M., & Ayu, N. P. (2020). The Education for Gender Equality and Human Rights in Indonesia: Contemporary Issues and Controversial Problems. The Indonesian Journal of International Clinical Legal Education, 2(1), 73--84. https://doi.org/10.15294/ijicle.v2i1.37321

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun