Di tengah hiruk-pikuk era digital, perbincangan tentang kesetaraan gender terus mengemuka. Baru-baru ini, sebuah kampanye bertajuk "Kartini dan Kesetaraan Gender: No One Left Behind" kembali mengingatkan publik akan pentingnya perjuangan yang tak pernah usai ini. Peristiwa ini menarik perhatian berbagai kalangan karena dilaksanakan pada momen peringatan Hari Kartini. Kampanye tersebut mengangkat pertanyaan-pertanyaan krusial: Mengapa kesetaraan gender masih relevan saat ini? Siapa yang bertanggung jawab untuk melanjutkan perjuangan ini? Apa dampaknya bagi masyarakat, dan bagaimana langkah konkret yang dapat diambil? Kampanye ini diinisiasi oleh lembaga pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, dengan tujuan memperkuat komitmen publik terhadap kesetaraan gender di segala lini kehidupan. Acara tersebut berlangsung di berbagai platform digital, memungkinkan publik dari seluruh Indonesia untuk ikut serta melalui diskusi interaktif dan kampanye media sosial.Â
Relevansi peristiwa ini dengan proyek "Cerpen Alternative Universe (AU) bertema Kesetaraan Gender di Twitter" sangat erat. Seperti kampanye kesetaraan gender yang berlangsung di ruang publik digital, proyek cerpen AU ini juga bertujuan membangun kesadaran sosial melalui narasi kreatif yang disajikan secara interaktif di Twitter. Cerpen AU memanfaatkan media sosial sebagai ruang dialog terbuka, mirip dengan ruang diskusi yang dihadirkan oleh kampanye Hari Kartini tersebut. Bedanya, proyek AU ini menghadirkan karakter fiktif yang memiliki perjuangan personal terkait keadilan gender. Dengan memanfaatkan thread interaktif, pembaca dapat mengikuti alur cerita sambil berdiskusi melalui kolom komentar, yang secara tak langsung membangun percakapan seputar isu gender. Hal ini sejalan dengan semangat kampanye kesetaraan yang berusaha melibatkan partisipasi publik dalam diskusi isu-isu krusial.Â
Proyek AU ini tak sekadar bercerita. Melalui konsep narasi fiksi yang menggunakan elemen karakter, plot, dan konflik berbasis kesetaraan gender, proyek ini mampu mengilustrasikan realitas ketidakadilan gender secara lebih mendalam. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh kampanye Hari Kartini, diskusi publik tidak hanya sebatas narasi verbal, tetapi juga membutuhkan simbol-simbol visual dan media interaktif. Dalam proyek AU, simbolisasi ini hadir melalui visualisasi poster karakter dan penggunaan dialog berbasis teks yang memicu diskusi. Kombinasi elemen visual dan naratif ini sejalan dengan teori Semiotika Sosial dari Theo van Leeuwen, di mana komunikasi tidak hanya terjadi melalui kata-kata, tetapi juga melalui tanda-tanda visual dan multimodalitas. Dengan menghadirkan simbol, gambar, dan teks secara bersamaan, proyek AU memperkuat pesan kesetaraan gender dengan cara yang lebih efektif dan kontekstual bagi generasi muda pengguna media sosial.Â
Apabila dianalisis dari sudut pandang teori konstruksi sosial, proyek AU ini memainkan peran penting dalam membentuk konstruksi sosial baru terkait peran gender. Menurut Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, realitas sosial dibentuk melalui interaksi manusia dan didukung oleh institusi serta media. Dalam hal ini, cerpen AU yang diunggah di Twitter berfungsi sebagai media yang menciptakan realitas alternatif. Karakter-karakter fiksional yang memimpin diskusi kesetaraan gender memungkinkan pembaca melihat peran gender secara berbeda dari realitas sehari-hari. Sebagai contoh, jika dalam kehidupan nyata perempuan sering kali diposisikan sebagai pihak yang "diperjuangkan", di dalam dunia AU, peran-peran tersebut bisa dibalik, di mana karakter perempuan justru menjadi pemimpin, pengambil keputusan, atau penggerak utama. Ini menciptakan "realitas alternatif" yang memungkinkan pembaca untuk melihat dan membayangkan dunia yang lebih adil gender.Â
Dilihat dari perspektif interaksi simbolik, proyek AU ini juga mencerminkan proses negosiasi makna yang terjadi secara terus-menerus. Menurut George Herbert Mead, makna dibentuk melalui interaksi sosial, dan makna kesetaraan gender dalam proyek AU ini terus dinegosiasikan oleh pembaca melalui komentar, reaksi, dan diskusi di Twitter. Pembaca bukan hanya konsumen cerita, tetapi juga turut serta dalam membentuk makna kesetaraan gender melalui diskusi dan reaksi mereka terhadap alur cerita. Interaksi ini memungkinkan audiens untuk melihat bahwa kesetaraan gender bukanlah konsep yang statis, melainkan sesuatu yang terus berkembang sesuai dengan partisipasi masyarakat dalam diskusi publik.Â
Proyek "Cerpen Alternative Universe (AU) bertema Kesetaraan Gender di Twitter" menunjukkan bahwa perjuangan kesetaraan gender tidak lagi bersifat satu arah dari pembuat kebijakan kepada masyarakat. Sebaliknya, proyek ini membuktikan bahwa kesetaraan gender dapat diperjuangkan secara kolektif melalui ruang-ruang kreatif digital. Melalui karakter yang berjuang melawan ketidakadilan, konflik yang memicu diskusi, dan platform Twitter sebagai ruang partisipasi interaktif, proyek ini mengingatkan bahwa perjuangan Kartini belum usai. Jika dulu perjuangan gender dilakukan melalui surat-surat dan forum diskusi fisik, maka kini perjuangan itu hadir dalam wujud thread Twitter dan cerpen interaktif yang menggugah kesadaran. Kesetaraan gender bukan sekadar slogan, melainkan sebuah proses yang terus diperjuangkan, dan proyek AU ini menjadi salah satu manifestasi nyata dari semangat "No One Left Behind" yang diperjuangkan Kartini dan diteruskan oleh generasi digital masa kini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI