Mohon tunggu...
Sarah Marella
Sarah Marella Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Halo saya Sarah Marella mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember dengan konsentrasi Hukum Tata Negara

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Meninjau Respon Masyarakat dan Peran LSF dalam Kontroversi Film "Vina Sebelum 7 Hari": Apakah Layak Ditayangkan?

14 Juni 2024   10:25 Diperbarui: 14 Juni 2024   10:25 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Film Vina Sebelum 7 Hari, merupakan salah satu film yang baru-baru ini tayang di Bioksop Indonesia dengan genre horror yang mengangkat kisah nyata dari sebuah kasus pembunuhan yang dilakukan oleh sekelompok geng motor terhadap seorang gadis bernama Vina di Cirebon pada tahun 2016 silam. Vina saat itu mengalami kekerasan fisik dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh 11 orang anggota geng motor dan dia juga dibunuh dalam kejadian itu. Hal ini terungkap setelah teman Vina yaitu Linda dirasuki sosok ghaib yang mengaku Vina dan kemudian menceritakan apa yang terjadi pada dirinya di malam itu. Berdasarkan kejadian tersebut dan petunjuk-petunjuk yang ada, Polisi yang menangani kasus ini kemudian melakukan penyelidikan di tempat-tempat yang diduga sebagai TKP dan menemukan fakta bahwa memang benar adanya Vina mengalami kekerasan dan dibunuh. Dengan ini, Polisi berhasil menangkap para pelaku dari kejadian tersebut tetapi masih ada 3 orang yang hingga saat ini belum ditemukan oleh Polisi.

Bagaimana respon masyarakat mengenai penayangan film Vina ini?

Setelah film ini ditayangkan, berbagai reaksi pun muncul dari masyarakat menanggapi film ini. Ada masyarakat yang merespon baik terkait film ini dan ada pula masyarakat yang mengecam atau kontra terhadap film ini. Masyarakat yang kontra ini menganggap jika beberapa adegan dalam film ini tidak menghargai perasaan korban yang sudah meninggal sebagai korban kekerasan seksual dan juga sebagai bentuk eksploitasi terhadap korban kekerasan seksual. Reaksi kontra masyarakat banyak bermunculan di sosial media X. "Vina adalah film sampah yang dibuat dengan ketiadaan nurani produser dan sutradaranya yang ingin menularkan ketiadaan nurani itu ke penonton haus sensasi pliss jangan tonton biar gak ketularan bobrok hati biar itu duo begundal stop bertengik-tengik diri" cuitan akun @junpalim. "Gue belom nonton and I won't be watching. Kalo kalian punya rasa hormat ke Almarhumah Vina, boikot film ini supaya eksploitasi terhadap Almarhumah tidak semakin besar" cuitan akun @madarkham. "Oh, they are so brave to do this stoopid marketing. No, they will never feel the same pain. Kalo emang niatnya mau kasih awareness tentang kasus ini, bukan dengan film horor dan potongan tubuh manusia" cuitan akun @arulfittron.

Respon kontra masyarakat dalam penayangan film ini adalah terkait penayangan adegan pemerkosaan sebagai sebuah kekerasan seksual yang dipertontonkan ke publik dan mengemas kejadian ini dengan genre film horror juga dianggap hal yang keliru. Selain itu, pembuatan film ini lebih ke profit pribadi melalui eksploitasi korban. Pihak produksi film beranggapan ada pesan-pesan penting yang dapat disampaikan melalui film ini yaitu "Masih ada tiga pelaku yang belum terungkap. Kedua, mengenai bahaya perundungan yang dialami oleh Vina. Ketiga, mengenai geng motor liar yang terjadi di Indonesia. Keempat, adalah masalah pergaulan." Dilansir dari BBC News Indonesia.

Bagaimana peran LSF dalam hal penayangan?

Kasus Vina memang sejak dulu selalu menjadi perbincangan publik, sehingga pastinya pembuatan film ini dengan branding "dari kisah nyata" berpotensi laris dipasaran dan mendatangkan untung besar bagi pihak produksi. Tetapi mereka lupa bahwa apa yang mereka buat merupkan bentuk tidak menghargai harkat dan martabat sesorang bahkan yang telah meninggal sekalipun. Siapapun tentu tidak ingin mengalami kekerasan seksual apa lagi bagi penyitas di luar sana yang mengalami hal yang sama tentu akan menyayat hati jika kejadian yang membuat mereka trauma ditayangkan dalam sebuah film.

Lembaga Sensor Film (LSF) sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk menetapkan status layak atau tidaknya sebuah film dan iklan beredar di masyarakat, tentu memiliki peranan besar dalam penayangan film Vina ini. Sebagaimana tujuan dari LSF sendiri adalah untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif dari pertunjukan dan peredaran film, maka sudah seharusnya LSF benar-benar menelaah adanya penayangan adegan tersebut. Adapun film ini tujuannya juga dirasa tak tersampaikan secara menyeluruh karena ada beberapa komentar yang memaknai film ini dengan salah salah satu contohnya dalam salah satu video tiktok dengan caption "Dari film Vina kita belajar bahwa mempunyai paras cantik tidak menjamin dia tidak dibully. Berhati-hati dalam bertindak karna kita gatau dendamnya laki-laki terhadap Perempuan jika cintanya ditolak". Video Tiktok akun @dianaronalolita.

Rommy Fibri Hardiyanto selaku Ketua LSF mengklarifikasi terkait hal eksploitasi korban dan pemberian lolos sensor pada film, dikutip dari BBC News Indonesia jika unsur-unsur pornografi dalam Pasal 12 Permendikbudristek Nomor 14 Tahun 2019. tidak menjadi kisi-kisi yang saklek. "Kalau digambarkan secara close-up dan diulang-ulang adegannya kemudian dilakukan secara berlebihan, itu eksploitasi namanya. Tapi kalau (adegan) ini hanya menggambarkan kejadiannya". Selain itu, juga dijelaskan jika visual pemerkosaan sebagai visual pornografi tidak menjadi kisi-kisi yang saklek. Bagaimana bisa demikian?

Adegan pemerkosaan yang ditampilkan di film ini berarti sama saja seperti mengeksploitasi penderitaan korban Vina saat kejadian tersebut. Dilansir dari BBC News Indonesia, pihak produksi menjelaskan jika pembuatan film ini sudah atas persetujuan keluarga korban dan menceritakan kisah Vina dalam film ini sesuai fakta yang ada. Akan tetapi, apakah mereka (pihak produksi) sendiri sebagai manusia tidak sadar jika telah melakukan eksploitasi terhadap penderitaan korban? Tentu tidak, karena ada faktor ekonomi dan profit yang tidak dapat dihindarkan.

Pada dasarnya terkait sensor film sudah diatur dalam Pasal 3 Peraturan LSF Nomor 2 Tahun 2020 tentang Mekanisme Penyensoran, bahwa penyesoran dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal salah satunya adalah kekerasan. Hal ini juga diatur dalam Permendikbudristek Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pedoman Dan Kriteria Penyensoran, Penggolongan Usia Penonton, Dan Penarikan Film Dan Iklan Film Dari Peredaran. Pada Pasal 9 menjelaskan jika film dikategorikan mengandung kekerasan jika menampilkan adegan tawuran, pengeroyokan, penyiksaan, penusukan, penyembelihan, mutilasi, pembacokan secara kasar dan ganas dan/atau adegan lain yang sejenis. Adapun juga bertentangan dengan Pasal 12 dalam peraturan ini, visualisasi pemerkosaan diperlihatkan sehingga mengandung pornografi yang bertujuan menampilkan adegan eksploitasi seksual. Dengan adanya ketentuan ini sebenarnya sudah jelas bahwa film Vina memang terindikasi kekerasan yang tidak layak ditayangkan, tetapi LSF selaku lembaga terkait tetap menyatakan lulus sensor pada film tersebut padahal dari kriteria-kriteria nya saja tidak sesuai dengan ketentuan yang mereka buat. Seharusnya LSF mengembalikan ke pemilik film untuk diperbaiki.

Kira-kira bagaimana Solusi jika ingin tetap mengangkat kembali kasus Vina dalam bentuk film?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun