Mohon tunggu...
Sarah Maharani Malistra
Sarah Maharani Malistra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang Mahasiswa

Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Tidak Hanya Aktivis, Masyarakat Juga Desak Cabut Keputusan Pimpinan KPK

19 Mei 2021   22:42 Diperbarui: 20 Mei 2021   01:46 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Pembahasan mengenai problematika KPK setelah berganti kepengurusan telah marak disurakan. Mulai dari aksi turun ke jalan oleh mahasiswa pada 2019 lalu, hingga kini berbagai masalahnya masih terus dikumandangkan. Permasalahan yang sedang ramai diperbincangkan berawal dari adanya berita perubahan status pegawai KPK hingga pencabutan status kepegawaian itu sendiri. Hak setiap warga negara dan keadilan untuk mendapat pekerjaan serta perlindungan atas pekerjaan tersebutpun sudah dijamin oleh Undang-Undang, dan tentu saja oleh dasar hukum dari segala sumber hukum yakni Pancasila. Permusyawaratan dan keadilan jelas tercatat dalam Pancasila di sila kedua, empat, dan lima. Tidak hanya itu, keadilan tersebut juga secara langsung ditulis pada alenia pembukaan Undang-Undang Dasar.

Segala 'upaya' pelemahan KPK yang tentu melanggar Pancasila dan Undang-Undang ini telah menyulut sumbu amarah berbagai pihak, tidak hanya dari pihak mahasiswa di Indonesia yang pernah berjuang ke jalan untuk menuntut pembatalan revisi UU KPK pada 2019. Ketidak setujuan juga datang dari berbagai pihak, termasuk masyarakat secara umum. Masyarakat Indonesia sendiri menuntut pencabutan keputusan petinggi KPK atas penonaktifan 75 pegawai KPK.

Dalam surat keputusannya, terdapat empat poin yang menyebutkan bahwa nama-nama pegawai yang dinonaktifkan jabatannya adalah mereka yang tidak memenuhi syarat atau TMS (tidak lolos TWK atau Tes Wawasan Kebangsaan) untuk pengalihan pegawai menjadi ASN. Poin kedua adalah pegawai untuk menyerahkan tanggung jawab serta tugas langsung kepada atasan sambil menunggu keputusan yang lebih lanjut. Serta poin ketiga dan keempat yang menyatakan bahwa lampiran dalam keputusan adalah hal yang tidak terpisahkan, dan keputusan berlaku sejak tanggal ditetapkan (jika ditemukan atau terdapat kesalahan, maka akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya).

Sejak awal, TWK sudah dianggap menyimpang dan jelas memiliki tujuan melemahkan KPK sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang keluar pada soal tes dianggap bermasalah karena terlalu menyinggung privasi bahkan mengandung SARA (suku, agama, ras dan antar golongan), pertanyaan yang ada tidak berkaitan dengan pemberantasan korupsi. Banyak pihak yang menentang diadakannya tes tersebut. Sebab, tidak hanya soal-soalnya saja yang bermasalah, pengadaan tes tersebut juga tidak memiliki dasar hukum. Dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 (UU KPK), serta PP Nomor 41 Tahun 2020 sama sekali tidak menyebutkan mengenai TWK sebagai syarat alih status pegawai. Bahkan, MK pada uji materi UU KPK telah menyebutkan bahwa proses alih status tidak akan merugikan pegawai. Namun pada faktanya, aturan-aturan yang ada jelas dilanggar dan diabaikan oleh pemimpin KPK.

Organisasi non-pemerintahan juga banyak menyuarakan aksinya. Seperti Koalisi Save KPK serta ICW atau Indonesia Corruption Watch yang menentang keras keputusan pencabutan status pegawai 75 anggota KPK yang dianggap memiliki integritas dan kejujuran untuk memberantas korupsi. Kedua organisasi ini juga menantang komisioner KPK untuk juga melaksanakan TWK, seperti yang telah dijalankan para pegawai. ICW bahkan turun ke depan gedung KPK untuk menantang para komisioner agar mengikuti tes, mereka mencurigai bahwa mungkin para komisioner KPK juga tidak akan lulus jika mengerjakan soal TWK yang dirasa tidak relevan dengan perihal kebangsaan dan penanganan kasus korupsi.

Tidak tanggung-tanggung, Koalisi Save Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan secara terbuka memberikan 13 pertanyaan yang ditunjukkan untuk Firli Bahuri selaku ketua KPK. Beberapa pertanyaan tersebut seperti "Apakah Anda tahu arti konflik kepentingan?", atau pertanyaan berupa "Apakah Anda rangkap jabatan?", hingga pertanyaan "Apakah pernah menggunakan fasilitas mewah seperti helikopter?" juga menjadi salah satu dari 13 pertanyaan yang diberikan. Pertanyaan ini diajukan karena soal TWK untuk pegawai pun dipertanyakan relevansinya dan dianggap sebagai bagian dari berbagai upaya pelemahan KPK.

Koalisi Masyarakat Antikorupsi (terdiri dari Indonesia Corruption Watch, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Visi Integritas Law Office, dan Change.org) juga ikut menyatakan sikap dan mendesak ketua KPK untuk; membatalkan hasil TWK, membatalkan pemberhentian 75 pegawai, menyudahi segala tindakan yang menjadi bagian dari pelemahan KPK, menjalankan tanggung jawabnya sebagaimana yang ada pada Pasal 20 ayat (1) dan (2) huruf c UU KPK, serta membentuk tim investigasi (melibatkan partisipasi publik dan secara luas) untuk membongkar dugaan skandal pemberhentian pegawai KPK.

Koalisi ini juga mendesak MK bahwa pelaksanaan pengalihan status pegawai harus sesuai dengan Putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019, yaitu tidak boleh merugikan hak pegawai dengan alasan apapun. Tidak hanya Koalisi Masyarakat Antikorupsi, para guru besar anti korupsi yang tersebar di berbagai universitas di Indonesia menyampaikan ketidak setujuannya atas keputusan pimpinan KPK, ketidak setujuan itu melalui siaran pers.

Masyarakat sipil pun menyuarakan amarah atas ketidak adilan yang terpampang jelas. Banyak dari anak muda yang membagikan isu ini di media sosial dan beramai-ramai menaikkan tagar yang berhubungan dengan apa yang sedang terjadi pada KPK saat ini. Tagar-tagar tersebut seperti "SaveKPK", "NyalakanTandaBahaya", dan lainnya. Isi dinaikkan karena dianggap "Kemanusiaan yang adil" serta "Keadilan sosial" dalam Pancasila dan aturan pada Undang-Undang. Mantan Wakil Ketua KPK juga menyebutkan soal TWK yang tidak memiliki dasar hukum adalah hal yang mengada-ada, ditambah banyaknya penyidik dan penyelidik senior yang tidak lulus uji membuat kecurigaan akan pelemahan KPK semakin kuat.

Ancaman juga didapat para aktivis pejuang antikorupsi. Belakangan, mereka mengalami terror secara digital. Ponsel milik beberapa aktivis diretas, salah satu korbannya adalah Adnan Topan Husodo, anggota ICW yang menyebutkan melalui akun Facebooknya.

"Supaya gak dianggap lebay, tapi penting sebagai bukti. WA saya barusan diretas, sampai saat ini saya tidak bisa menggunakannya. Demikian juga teman-teman ICW lainnya." tulisnya pada hari senin (17/5)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun