Generasi Z, yang lahir di era digital dan serba cepat, menghadapi tantangan unik yang membedakan mereka dari generasi sebelumnya. Meskipun mereka dikenal lebih terbuka terhadap isu kesehatan mental, mereka juga sering kali dibayangi oleh rasa tidak aman (insecurities) yang mendalam. Hal ini tidak hanya berdampak pada kesejahteraan mental mereka, tetapi juga memicu peningkatan angka bunuh diri di kalangan generasi ini.
Salah satu pemicu utama insecurities di kalangan Gen Z adalah pengaruh media sosial. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Snapchat memungkinkan generasi ini untuk terus-menerus membandingkan diri mereka dengan orang lain. Feed yang dipenuhi dengan gambar tubuh ideal, gaya hidup mewah, atau pencapaian akademik yang luar biasa menciptakan tekanan untuk selalu terlihat sempurna. Standar kesempurnaan ini sering kali tidak realistis, tetapi tetap menjadi tolak ukur yang diadopsi banyak orang. Akibatnya, banyak anggota Gen Z merasa tidak cukup baik atau merasa tertinggal dibandingkan dengan teman-teman sebaya mereka.
Selain itu, ekspektasi dari lingkungan keluarga dan akademik juga menjadi sumber tekanan besar. Orang tua yang berharap anak-anak mereka mencapai kesuksesan akademik atau karier tertentu sering kali tanpa sadar menempatkan beban yang berat di pundak anak-anak mereka. Di sisi lain, dunia kerja yang semakin kompetitif membuat banyak anak muda merasa cemas tentang masa depan mereka, terutama jika mereka tidak memenuhi standar yang diharapkan.
Tekanan yang terus-menerus ini berdampak signifikan pada kesehatan mental. Banyak anggota Gen Z melaporkan merasa cemas, depresi, atau kehilangan motivasi. Mereka mungkin juga merasa kesepian, meskipun secara teknis mereka selalu terhubung dengan orang lain melalui internet. Sayangnya, rasa putus asa yang berkepanjangan ini sering kali memuncak dalam pikiran untuk mengakhiri hidup.
Data menunjukkan bahwa tingkat bunuh diri di kalangan anak muda meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya dampak insecurities terhadap kesehatan mental Gen Z. Meskipun stigma tentang kesehatan mental mulai berkurang, akses ke bantuan profesional masih menjadi kendala. Banyak dari mereka yang merasa malu untuk mencari bantuan atau tidak tahu harus mulai dari mana.
Untuk mengatasi masalah ini, penting bagi masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang lebih suportif. Orang tua, pendidik, dan pemimpin komunitas perlu memberikan dukungan emosional yang nyata, bukan hanya ekspektasi. Selain itu, literasi digital harus ditingkatkan untuk membantu anak muda memahami bahwa apa yang mereka lihat di media sosial sering kali hanyalah ilusi.
Gen Z adalah generasi yang memiliki potensi besar untuk mengubah dunia, tetapi mereka membutuhkan dukungan yang tepat untuk mengatasi tekanan yang mereka hadapi. Dengan menciptakan ruang yang lebih sehat untuk diskusi tentang kesehatan mental dan mengurangi beban ekspektasi yang tidak realistis, kita dapat membantu mereka menjalani hidup yang lebih bahagia dan bermakna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H