Mohon tunggu...
Sarah Kartika Pratiwi
Sarah Kartika Pratiwi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Psikologi. Menyukai Psikologi, Jurnalistik, Sajak dan Puisi, serta Kriminologi. Memiliki keinginan kuat untuk terus maju, belajar, dan berkembang.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kami Diancam oleh Miskin

27 Februari 2013   03:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:37 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku tak punya uang. Berulang kali dalam berbulan-bulan. Barusan adik meminta jajan. Aku beri seribu perak. Dia bilang, tak cukup Kak. Kamu butuh berapa. Tambah lagi empat serunya. Itu artinya jatah makanku berkurang lagi, dan pergi ke kampus jalan kaki. Uang di dompet hari ini harus dihemat. Karena seribu perakku hanya sejumlah sepuluh lembar.

Uang ini sampai terlihat ikut sedih pula. Aku ingin tertawa, karena siapa sebenarnya yang lebih bikin kasihan. Aku atau lembar-lembar uang kumal ini. Tapi aku tidak jadi tertawa. Kalau aku tertawa, kerongkonganku yang sudah kering ini semakin gersang. Dan aku harus membeli minuman. Dan aku tak punya uang.

Adikku sudah tak sabar. Matanya cemerlang karena baginya akulah sosok pahlawan. Pemberi solusi di setiap kesulitan datang dan mengetuk-ngetuk pintu rumah.

Yang ia belum tahu adalah, betapa kerasnya aku menelan getir dari ludah dan airmata kering. Di setiap depan tawa nyaringnya ketika melihat ku pulang membawa mainan. Ia ingin sekali memberitahukan pada dunia bahwa dengan kakaknya maka ia punya segalanya.

Dulu masih sering orang lewat numpang tanya. Memang orang tua mana
Sampai kelu kosong kaku rasanya lidah bertulang. Ibu ke negeri tetangga katanya mau mencari uang dengan halal. Karena di sini adanya orang tak punya kerja minta-minta, dan begini nasib kami berdua, tak punya cukup muka untuk pergi ke jalan-jalan setan. Ganti saya yang bertanya. Kau pikir kerja meminta itu hanya ada di jalan raya perempatan hah. Meminta di sana sungguh memalukan, dan aku tak punya muka memakai baju bertambal.

Ayah kami sudah meninggal, ujarku sebelum ia kembali tanya. Jangan tanya karena apa, kami tidak pernah bertemu dengannya. Jangan tanya kok bisa, kami juga tidak tahu kok bisa-bisanya. Padahal kata Ibu, Ayah masih ada waktu saya SMA. Tapi saya tak pernah sua dan Ibu tidak kasih tahu Ayah pergi kemana

Sudah sepuluh menit saya berbicara dengan orang lewat, yang katanya tetangga saya. Masih santai dia bersandar tembok dan memandang saya dan heran. Saya juga heran rasa rasa sudah banyak tetangga yang minta cerita. Juga melongok-longok rumah yang sudah lama lengang. Di tukang sayur kami seringnya beli bayam saja dan kalau saya malu saya minta adik yang ke sana
Untung saja dia anak-anak. Harga dirinya masih seputar mainan dan jajan
Karena sangat menyakitkan kalau kami direndahkan karena status harta kami yang terancam kemiskinan.

BPPM Psikomedia, PPSDMS Yogyakarta Putri

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun