Siapa sangka profesi ini sekarang banyak diperebutkan ratusan, ribuan, bahkan mungkin jutaan warga Indonesia. Belum lagi dengan dikeluarkannya SKB 5 Menteri tentang penataan dan pendistribusian guru. Semua guru “galau” kalau kata anak muda jaman sekarang. Bagaimana tidak galau kalau SKB tersebut telah mewajibkan guru bersertifikasi memenuhi 24 jam mengajar per minggu. Ditambah lagi dengan dilarangnya mengajar di sekolah swasta untuk memenuhi 24 jam tersebut.
Banyak akibat yang ditimbulkan dari adanya aturan tersebut. Guru yang bersertifikasi galau karena jika tidak memenuhi maka ia tidak akan mendapat tunjangan. Di sisi lain guru yang bersertifikasipun memiliki hati. Ia tidak akan tega ‘menendang’ guru honorer yang hidup dari jam pelajaran dimana ia mengajar. Penghasilan guru honorer akan semakin sedikit. Namun, apa daya dengan terpaksa guru honorer pun perlu sadar diri akan posisi mereka.
Lain guru honorer, lain pula nasib mahasiswa lulusan Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK). Pernahkah kalian berpikir bagaimana nasib mahasiswa lulusan LPTK? Mahasiswa yang dididik kurang lebih 8 semester dengan berbagai materi yang berkenaan dengan pedagogik maupun ilmu pendukung lainnya. Jika dalam setahun sebuah jurusan di LPTK meluluskan 300 orang, bisakah kalian bayangkan berapa banyak calon-calon guru lulusan dari sebuah LPTK? Akan dikemanakan mereka? Tentu mereka berbeda dengan nasib mahasiswa seperti STAN yang memiliki ikatan dinas dan jelas hasil akhirnya. Nah, bagaimana nasib mahasiswa LPTK? Sangat sulit bagi mereka untuk mengajukan lamaran menjadi guru di sebuah sekolah. Mau jadi PNS, masih moratorium. Mau jadi guru honorer? Orang guru honorernya sendiri ditendang, ini mau ngelamar…begitu kira-kira gurauannya.
Kemudian ada jawaban bagi kami mahasiswa lulusan LPTK, sebuah program yang dinamakan SM3T. Seperti sebuah program pengabdian di daerah terpencil bagi seorang guru. Bagi mahasiswa yang telah lulus bisa mengikuti pengabdian ini. Tapi program inipun tidak bisa menampung semua mahasiswa, hanya sebagian kecil. Bagaimana dengan yang lainnya? Sebuah penolakan juga mengalir deras di sebuah daerah akan program ini karena tidak memberdayakan masyarakat lokal.
Saya adalah lulusan LPTK. Bukannya saya tidak kreatif dengan tidak melirik pekerjaan lain. Guru SMA saya juga bilang, kalau mau cari uang menjadi seorang guru bukanlah tempatnya. Bukan juga terlalu idealis. Tapi selama 8 semester saya berkuliah, saya kemudian praktek pelatihan profesi di sekolah, belum lagi ‘doktrin-doktrin’ yang diberikan dosen, teman-teman, dan lingkungan untuk menjadi guru, wajarkah jika saya mengatakan saya ingin menjadi guru dan mengaplikasikan ilmu yang saya peroleh?
Lamaran demi lamaran saya ajukan ke berbagai sekolah, yang sebagian besar tidak ada juntrungannya entah seperti apa nasibnya. Orang tua saya sampai mengatakan, haruskah kita memiliki ‘orang dalam’ untuk bisa menjadi seorang guru?
Saya yakin aturan apapun yang dikeluarkan pemerintah selain memiliki dampak negatif juga pasti memiliki dampak positif. Mungkin pemerintah bisa mengatakan dampak ini sangat kecil dibandingkan dampak positif yang ‘nantinya’ akan diperoleh. Tapi kalau boleh request sama pemerintah, adakah solusi yang bisa diberikan kepada rakyatmu, “rakyat biasa” bukan rakyat luar biasa, untuk mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan? Dulu misalnya ketika BBM naik, ada solusi nyata dengan memberikan BLT. Nah, sekarang, apa solusi yang diberikan untuk kami lulusan LPTK dan guru honorer? Mungkin memang benar adanya, guru pahlawan tanpa tanda jasa
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI