Mohon tunggu...
Sarah Fadilla
Sarah Fadilla Mohon Tunggu... karyawan swasta -

pemimpi :)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

IPA Sebagai Gengsi atau Pilihan

22 Februari 2012   02:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:21 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pendidikan buat saya adalah sebuah proses pembelajaran menuju pendewasaan bagi seorang manusia, tepatnya suatu proses dalam menemukan jati diri dalam melaksanakan kehidupannya di masa-masa mendatang. Kalau dalam prinsip ekonomi yang saya pahami manusia itu memiliki sifat tidak pernah puas, selalu ada kebutuhan-kebutuhan. Nah, melalui pendidikan inilah manusia dididik untuk menemukan cara bagaimana ia akan memenuhi kebutuhan hidupnya menuju suatu tingkat kepuasan dan buat saya kepuasan itu yang dinamakan kebahagiaan.

Bagaimanakah proses yang sebaiknya dijalani dalam pendidikan itu sebenarnya? Tidak ada cara yang terbaik untuk melakukan proses pendidikan. Semuanya ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing, baik melalui pendidikan formal seperti mengikuti pendidikan dari TK sampai SMA maupun melalui pendidikan informal seperti dengan mengikuti program homeschooling. Perbedaan utama antara program tersebut adalah pada proses interaksi sosial. Pendidikan bukan hanya sekedar bagaimana seseorang manusia mempelajari ilmu matematika dan ekonomi, lebih dari itu manusia harus mampu untuk menerapkan apa yang ia peroleh untuk diaplikasikan dalam kehidupan. Pendidikan formal menuntut siswa untuk melakukan interaksi sosial. Banyak sekali kegiatan berorganisasi yang dapat diikuti oleh seorang siswa yang berpendidikan formal sehingga ia memperoleh ‘tambahan ilmu' yang tidak ia dapat di kelas. Berbeda sekali jika mengikuti homeschooling, siswa hanya berinteraksi dengan guru atau internet. Ia akan kaku untuk berinteraksi dengan dunia sosial.

Namun, yang ingin saya bahas bukan perbedaan antara pendidikan formal dan nonformal. Saya akan menyoroti pada pendidikan formal. Saya pernah melakukan kegiatan praktek lapangan untuk pendidikan saya di jurusan pendidikan kimia di sebuah sekolah favorit di kota bandung. Saya dan teman dalam satu tim kemudian pernah mengobrol santai bersama dosen luar biasa (DLB) yang merupakan guru tetap di sekolah tersebut mengenai karakter siswa, kebetulan waktu itu kami sedang memeriksa nilai ulangan kimia. Obrolan guru dan calon guru seperti saya memang tidak jauh seputar siswa. Ada yang nilainya bagus dan kami judge mereka sebagai anak berbakat dalam kimia namun ada pula yng nilainya selalu dibawah KKM. DLB saya bilang sebetulnya dari semester 1 (penjurusan di semester 2) anak ini memang kurang nilai kimianya. Tapi dipaksakan supaya bisa masuk jurusan IPA. Lalu ada siswa lain yang kami bicarakan. Kalau anak ini super aktif di kegiatan ekstrakurikuler. Sehingga pelajarannya ya seperti inilah. Berat buat kami seorang guru, begitu ujar DLB saya.

Kemudian saya teringat pada sebuah artikel berita mengenai sekolah tersebut. Dalam artikel tersebut di sekolah tempat saya praktek ada isu akan dihapuskannya jurusan IPS. Hmm...gila menurut saya waktu itu. Memang sekolah itu cetakannya terkenal sebagai pemasok mahasiswa-mahasiswa kampus ganesha. Tapi apakah sebegitunya sampai-sampai jurusan IPS harus dihapus. Apakah yakin Dari 360 siswa per angkatan itu semuanyaberbakat masuk jurusan IPA? Apakah rasa gengsi dan "judge" sebagai sekolah pemasok mahasiswa ganesha ini membuat siswa malu untuk masuk jurusan IPS? Helooo dunia, tahukah kalian bahwa sebagian besar pemimpin itu memiliki latar belakang sosial. Jurusan IPA bahkan cenderung untuk terdiam di balik bangku laboratorium atau teknisi? Bukan merendahkan karena saya juga terlahir sebagai anak IPA kok. Tapi tidak semua hal bisa dipaksakan. Kalau saya boleh memutar waktu, saya ingin dari kelas 1 SMA saya sudah punya planning-planning ke depan mengenai apa yang saya mau dan bagaimana cara mencapainya. Bukan hanya sekedar cita-cita yang hanya sekedar mimpi tanpa juntrungan realisasi yang jelas atau saya menyesal masuk IPA. Tidak. Karena saya sendiri tipikal makhluk yang lebih eksak dibanding sosial hehehehe....

Nah, lanjut kembali ke artikel berita tadi. Saya lalu bertanya, Bu tapi sekarang kan kelas IPS ternyata tidak jadi dihapus walau pada akhirnya kelas IPS hanya berpenduduk Sembilan orang siswa saja. Beliau kemudian menjawab. Ini adalah kebijakan. Syarat berdirinya sebuah sekolah menengah atas (entah hanya untuk negeri ataupun berlaku juga untuk swasta) adalah minimal harus ada jurusan IPA, IPS, atau bisa juga bahasa. Oooh...teriakku dalam hati. Sebuah kebijakan yang justru bisa menyelamatkan kegengsian atas prestisiusnya jurusan IPA di sekolah tersebut. Beliau juga menyebutkan di antara ke Sembilan orang tersebut ternyata bukan karena nilai IPAnya yang tidak mencukupi untuk masuk IPS, mereka justru mampu menyelesaikan soal-soal kimia dengan baik. Tapi mereka berani memilih. Mereka tahu apa yang mereka mau. Wow...standing applause. Eh, bukan berarti saya menyebutkan anak IPA tidak tahu apa yang mereka mau. Tapi saya yakin banyak diantara mereka yang pada SNMPTN akhirnya mengambil IPC karena kegalauannya heheheheee....Dan yang saya salut, salah satu anak IPS di sekolah tersebut adalah anak dari pejabat propinsi jawa barat. Salut untuk orang tuanya yang tidak menekan anaknya untuk tidak masuk IPA hihi...

Lalu apa masalahnya? Kening saya kembali mengerut ketika saya tahu ada sekolah yang bahkan tidak membuka kelas IPS atau bahasa di sekolahnya. Hanya ada jurusan IPA. JURUSAN IPA ! Artinya setiap anak di sekolah tersebut suka tidak suka atau mau tidak mau harus masuk jurusan IPA. Menurut saya ada jurusan IPA dan IPS saja belum bisa menampung aspirasi atau minat siswa. Dan ini? Hanya ada IPA??? *lempar telor* Saya kurang mengerti sih mengenai pembagian otak. Tapi yang ada dibenak saya, otak pasti ada yang bagian IPAnya, IPSnya, Seninya, Sosialnya dan lain-lain kan. Jadi saya berpendapat IPA dan IPS juga bahasa saja tidak cukup. Lalu apakah sekolah tersebut salah? Kalau menilik kebijakan pemerintah dan berlaku general berarti salah. Tapi kalau ternyata tidak berlaku general ya tidak apa-apa. Itu berarti keputusan sekolah tersebut untuk menjadikan sekolah tersebut adalah sekolah eksak. Dan dari awal juga sudah terlihat dan dijelaskan sekolah itu adalah sekolah IPA. So? Tidak ada yang salah kan. Ini berarti tinggal orang tua dan calon siswa yang memutuskan apakah ia akan benar benar masuk jalur IPA atau tidak. Kalau tidak lebih baik memilih sekolah lain bukan?

Lalu bagaimana penyelesaiannya? Tidak dapat dipungkiri bahwa regulasi sekolah menengah atas di Indonesia memang seperti itu ada IPA, IPS, atau Bahasa. Jadi mau tidak mau anak yang melanjutkan ke SMA bukan SMK harus memilih dengan tepat. Itu keputusan sekali seumur hidup loh. Direncanakanlah dengan tepat apa tujuan yang hendak dicapai. Toh akhirnya jurusan IPA, IPS, dan bahasa pada akhirnya akan bersinergi juga. Tapi alangkah lebih baiknya jika kita telah mengetahui dengan tepat apa kemampuan kita dan tentunya nanti akan lebih maksimal kan hasilnya?

Kalau saya boleh berandai-andai. Andai saya orang kaya yang bisa membuat sekolah, mungkin ini gambaran sekolah yang saya inginkan : gratis, sistemnya seperti dikuliahan aja jadi siswa bisa memilih pelajaran yang sesuai minat. Tapi ada pelajaran yang wajib diambil yang berkaitan dengan akhlak dan kebangsaan. Semoga dengan begitu akan tercipta generasi yang memiliki akhlak yang bagus tanpa melupakan karakter bangsa namun bisa maju dalam bidang yang iya sukai. Semoga suatu saat nanti terjadi. Aamiin

*diambil dari blog pribadi saya http://sarah-fadilla.blogspot.com/2012/02/ipa-sebagai-pilihan-tepat-atau.html

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun