Tren percampuran bahasa Indonesia dengan beberapa istilah dari bahasa lainnya kian marak digunakan dalam percakapan sehari-hari, tidak terkecuali Bahasa Arab. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah akulturasi budaya yang disebabkan oleh interaksi sehari-hari maupun konsumsi media yang kita tonton sehari-hari. Penggunaan istilah “ana-ente” pada serial-serial bernuansa Arab membuat istilah tersebut semakin familiar di telinga masyarakat Indonesia.
Secara bahasa, kata “ana” dalam bahasa arab berarti saya, “anta” atau “ente” yang sering disebut pada aksen betawi memiliki arti “kamu”, sedangkan “akhi” memiliki makna seorang saudara laki-laki, dan panggilan “ukhti” menunjukan makna seorang saudara perempuan. Kata “akhi” dan “ukhti” ini merujuk pada makna tunggal, atau singular. dua istilah ini memiliki makna banyak atau jama’, yaitu “ikhwan” yang menunjukan saudara laki-laki lebih dari dua orang, sedangkan makna kata “akhwat” dalam kehidupan sehari-hari menunjukan makna banyak, yaitu lebih dari dua orang saudara perempuan.
Lantas, apa yang membuat istilah-istilah ini seolah memiliki pergeseran makna dari arti aslinya? apa yang membuat istilah-istilah yang diterjemahkan dalam Bahasa Arab memiliki kesan eksklusifitas dalam penggunaanya sehari-hari? Saat ini, pemahaman masyarakat mengenai perubahan dan pendekatan spiritual dan religiusitas diartikan sebagai perubahan yang dapat ditunjukan secara simbolik, seperti mengubah istilah sehari-hari seperti “kakak” atau “abang” menjadi “akhi” atau “ukhti” dan istilah lainnya yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti memberikan semangat kepada seseorang, dari semula mengucapkan kata “semangat, ya” menjadi “ma’annajah” yang dinilai memiliki makna yang lebih dalam dan spiritualitas yang lebih tinggi.
Namun hakikatnya, perubahan-perubahan terhadap istilah yang sebenarnya memiliki makna sama ini dapat mempengaruhi aspek keragaman dan pluralisme yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Pengenalan istilah-istilah tersebut pada dakwah-dakwah populer mengarah kepada eksklusivitas dan pengelompokan terhadap kelompok atau keyakinan tertentu, yang sebenarnya, lagi, dalam Bahasa Arab sendiri kata tersebut tidak mengandung makna lebih dan sama saja dengan istilah dalam Bahasa Indonesia. Apabila istilah-istilah ini merujuk kepada semangat dan pendekatan dengan ajaran spiritualitas Islam, hal ini tentu bertolak belakang dengan hakikat penyebaran Islam di Indonesia.
Hal ini juga ditegaskan oleh presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid dan cendekiawan Muslim Indonesia, Azyumardi Azra, yang menegaskan bahwasannya penyebaran Agama Islam di Indonesia dilakukan dengan metode yang inklusif dan akomodatif, yang dapat dilihat melalui metode yang dilakukan oleh para walisongo yang menyesuaikan kultur dan budaya Indonesia yang tradisional untuk membumikan keberadaan Islam di Indonesia ditengah masyarakat.
Penggunaan segala bentuk istilah yang menciptakan eksklusivitas mampu berpotensi menciptakan jarak sosial dan keragaman antar umat beragama. Agama Islam sendiri hakikatnya mewajibkan para pengikutnya untuk menjaga persatuan dan menanamkan sikap nasionalisme. Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman umat Islam juga memberikan suri tauladan bagaimana pentingnya untuk mencintai tanah air. Sayangnya, penggunaa istilah Arab yang eksklusif ini berpotensi mengarah pada sikap separatisme yang justru bertentangan dengan esensi dari Agama Islam itu sendiri, karena Islam secara jelas melarang keras segala sikap yang merujuk kepada separatisme yang mempengaruhi keutuhan dan persatuan negara. Hal ini disampaikan oleh KH Khairuddin Tahmid selaku Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Provinsi Lampung.
Referensi:
Kamil, A. (2024). Gus Dur, Pluralisme, dan Moderasi Beragama. Penerbit Adab.
Al Chudaifi, M. A. R., & Muliana, S. (2021). Reinterpretasi Makna Hijrah dan Implikasinya terhadap Moderasi Beragama: Aplikasi Maʿnā cum Maghza pada QS Al-Nisāʾ: 100. Jurnal Moderasi, 1(1), 47-66.
Wahid, N. Jalan Dakwah PKS dalam Tubuh Muhammadiyah (Kasus di Yogyakarta dalam Perspektif Politik Hannah Arendt). Jurnal Sosiologi Agama, 5(2)