Mohon tunggu...
Sarah Tsaqqofa
Sarah Tsaqqofa Mohon Tunggu... -

I am Food Scientist, Market Researcher, Point Guard (basket ball), supporter (badminton), love writing and Reading =)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Battle Royale untuk Indonesia Lebih Baik

8 November 2010   04:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:47 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

a subjective social-science integrated approach fiction

"At the dawn of the millennium, the nation collapsed. At fifteen percent unemployment, ten million were out of work. 800,000 students boycotted school. The adults lost confidence and, fearing the youth, eventually passed the Millennium Educational Reform Act, AKA the BR Act...."

Tulisan diatas adalah sebuah prolog film BATTLE ROYALE, sebuah karya fiktif dari novelis Jepang, Koushun Takami pada tahun 1999 yang kemudian difilmkan pada tahun 2000 dengan disutradarai oleh Kinji Fukasaku. Film ini sangat menuai kontroversial, baik di Jepang maupun di luar Jepang. Pasalnya, film ini menayangkan berbagai bentuk kekerasan yang seharusnya tidak ditonton kaum muda.

Ide yang dicetuskan oleh novelis Jepang ini berasal dari Keadaan dunia yang terbagi menjadi beberapa sektor utama, yakni Negara-negara yang dikuasai Amerika dan Republik Asia Timur yang dipimpin oleh Jepang. Republik ini dipimpin oleh seorang diktator dan beranggotakan negara-negara Asia yang kita ketahui sekarang. Kisah dalam novel ini disetting di masa kini, ketika banyak bangsa yang runtuh, dengan 10 juta orang pengangguran, 800.000 siswa membangkang sekolah, orang dewasa kehilangan kepercayaan diri sehingga mereka takut kepada kaum muda. Untuk menekan angka pertumbuhan dan juga mengatasi pembangkangan kaum muda, pemerintah Jepang menciptakan kebijakan baru: The Battle Royale Act, secara resmi dikenal dengan Battle Experiment No.68 Program. Setiap tahunnya, 50 siswa kelas 3 SMP dipilih secara acak untuk berpartisipasi dalam program tersebut. Mereka akan dikirim secara diam-diam ke sebuah pulau terpencil, masing-masing diberikan perbekalan berupa senjata dan barang-barang untuk bertahan dalam pulau tersebut selama 48 jam. Mereka harus saling membunuh satu sama lain, jika tidak mau maka mereka yang akan mati karena masing-masing telah dipasangi sebuah kalung yang siap meledak jika tidak ada yang terdeteksi terbunuh. Jadilah sebuah persahabatan menjadi permusuhan. Hanya ada satu pemenang dalam “permainan” ini dan ia akan mendapatkan dana pensiun seumur hidupnya dan sebuah tanda tangan dari Great Dictator.

Sangat menyeramkan, bukan?

Lalu apa hubungannya dengan judul di atas??

Ya, Kali ini saya akan mengemukakan ide fiktif yang TENTU takkan pernah diRealisasikan karena terkait dengan pelanggaran HAM, harkat kemanusiaan, serta norma-norma agama. Mengingat Film diatas sangat kontroversial, mungkin tulisan ini juga akan kontroversial. Namun, tak ada salahnya bukan? Ide ini  hanyalah ide fiksi yang datang dan meluncur begitu saja dari pikiran saya. Program BR diatas memiliki banyak kelemahan diantaranya: bagaimana jika siswa yang terpilih adalah siswa baik, terpelajar dan bukan siswa pembangkang? Bagaimana jika mereka justru berpotensi untuk memperbaiki dunia ini? Program untuk menekan angka pertumbuhan dengan membunuh 49 orang tiap tahun dinilai lambat [perlu diketahui saat saya menulis ini saya bukanlah orang baik -red].

Namun, bagaimana jika program ini dilakukan di Indonesia dengan keadaan sebaliknya? Saat ini tingkat pengangguran di Indonesia sudah mencapai 8,59 juta orang atau sekitar 7,41% dari 116 juta orang total angkatan kerja. Kemudian Indonesia masih terpuruk di peringkat 110 negara bersih korupsi. Posisinya sebenarnya naik satu tingkat dari tahun lalu yang bertengger di urutan 111 dari 178 negara. Namun, meski naik sedikit, Indeks Persepsi Korupsinya (IPK) tetap saja jeblok yaitu 2,8. Selain itu, tindakan kriminalitas tahun 2010 diprediksian terjadi sekitar 209.673 kasus, sedangkan tahun lalu 196.931 kasus. Sudah cukuplah negeri ini dibebani dengan berbagai macam bencana, masyarakat yang saling tuduh, saling menyalahkan, para pemimpin yang mementingkan dirinya sendiri, rakyat yang susah diatur, media yang terlalu menyudutkan satu sisi, kriminal dimana-mana. CUKUP!

Di Indonesia ini, mungkin perlu juga dipimpin oleh seorang diktator, menjalankan program ini untuk orang-orang diatas. Mereka yang terpilih sebaiknya tidak saling kenal agar lebih mudah untuk saling membunuh. Tidak ada salahnya, toh mereka semua juga bukan orang baik. Siapa tahu pemenangnya akan menjadi orang baik karena mengakui kesalahannya. Dengan program ini, hanya akan ada orang-orang “baik” yang menghuni bumi Indonesia. Jika peraturan dilanggar, mereka akan segera masuk ke daftar list peserta program Battle Royale ini. Pulau apa? Hahaha… tentu pulau terpencil di Indonesia sangat banyak. Pilih saja salah satu. Program ini pun tak perlu dijalankan selama satu tahun sekali. Jika angka pertumbuhan, pengangguran, kriminal dan korupsi benar-benar ingin ditekan, satu bulan sekali dalam satu tahun mungkin cukup untuk mengatasi permsalahan tersebut.

Dampak psikologisnya, tentu sangat dahsyat! Untuk melakukan program ini, pemerintah hanya punya dua pilihan: melakukan pendekatan perlahan (hal ini akan sangat lambat sementara angka pertumbuhan, pengangguran dan kriminalitas semakin meningkat) atau langsung melaksanakan sehingga benar-benar mengagetkan para perusuh tersebut. Mahasiswa? Ya, pasti berdemo. Ah, tapi ancam saja mereka juga akan masuk ke dalam daftar peserta jika mereka tetap membangkang. Idealis? Pasti, namanya juga mahasiswa. Mereka akan tetap bertahan walau nyawa adalah taruhannya. Hal itu mudah saja, TEGAS! Kurungkan!

Waduh, waduh… kok saya jadi jahat banget ya? Hmm… mungkin cara begini inilah yang bisa memajukan Indonesia. Setelah masa-masa itu, masyarakat akan hidup damai dan tenang. Laju pertumbuhan sudah bisa diatur, pangan akan mencukupi, kriminalitas berkurang, sektor ekonomi maju karena tidak ada koruptor. Namun tentu saja, rakyat pasti hanya akan menjadi robot yang patuh pada Diktator tersebut. Bagaimana, ide yang bagus bukan? Hahahaha… [Catat: HANYA SEBUAH FIKSI!]

Berikan komentar anda segera! Demi Indonesia Lebih Baik!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun