Tulisan ini saya dedikasikan untuk Blog Competition: AKU DAN AIR "Menabung Air Hujan, Memanen Manfaat"
Beberapa waktu yang lalu, saya melakukan diskusi dengan teman-teman seputar pengelolaan air di Jakarta. Saya mencoba mengelaborasikan proses dan hasil diskusi pada artikel ini.
Hingga saat ini Jakarta tercatat menampung sekitar 10,6 juta jiwa (Databoks, 2019) pada malam hari dan lebih dari 10,6 juta jiwa pada siang hari. Bila diasumsikan kebutuhan air bersih sesuai dengan standar WHO sebesar 150 liter/hari/jiwa, maka 240 juta liter/hari atau sekitar 2777 liter/sekon menjadi angka kebutuhan air bersih DKI Jakarta yang harus dipenuhi.Â
Berangkat dari kondisi eksisting pengelolaan air di Jakarta, sumber air baku utama Jakarta yang berasal dari Jatiluhur memang belum dapat memenuhi kebutuhan 2777 liter/sekon tersebut. Oleh karena itu, beberapa dari 13 sungai yang mengalir di Jakarta diberdayakan dengan menginstalasi Instalasi Pengolahan Air Minum, seperti IPA Hutan Kota yang mengolah air Kanal Banjir Barat.Â
Namun, kebutuhan akan air bersih belum bisa terpenuhi sepenuhnya sehingga tidak sedikit daerah Jakarta menggunakan air tanah. Melihat kenyataan ini, air tanah seharusnya menjadi pilihan terakhir setelah dilakukan optimalisasi pemanfaatan 13 sungai-sungai di Jakarta melalui SPAM. Memang, dalam memanfaatkan sungai-sungai yang ada, perlu dilakukan studi kelayakan dari kualitas, kuantitas, dan kontinuitas aliran sungai.Â
Masih dalam satu sistem kesatuan, Jakarta juga berpeluang memanfaatkan curah hujan berkategori tinggi, mampu mencapai 200 mm/hari yang selama ini hanya menjadi limpasan banjir. Wujud nyata Jakarta sebagai kota yang ramah air yaitu tidak kekeringan saat musim kemarau dan tidak mengalami banjir saat musim hujan dapat dieksekusi melalui sistem pengelolaan air yang terintegrasi.Â
Ada pola pikir yang perlu diubah dari "Bagaimana cara membuang air dari hulu ke hilir secepatnya?" menjadi "Bagaimana menggunakan air yang berpotensi menjadi limpasan banjir menjadi suplai air baku?" Dengan pola pikir ini, Jakarta semakin dekat dengan kota ramah air. Setelah saya lakukan literasi dari berbagai sumber, salah satunya Kompasiana, saya menemukan opini saya benar dan sedikit lega karena pengendalian banjir yang efektif dan relevan bagi Jakarta saat ini berupa reservoir atau tampungan.Â
Lega karena Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga tengah menyiapkan tampungan di daerah hulu bekerjasama dengan Pemerintah Bogor. Loh gimana caranya kalau Jakarta sendiri ga punya lahan kosong lagi? Sebagian pertanyaan terbesit oleh teman-temanku saat diskusi membicarakan Jakarta dengan problematika keairannya. Kami sepakat bahwa pengelolaan air harus dilakukan secara terintegrasi dari hulu ke hilir, Pemprov DKI Jakarta bekerjasama dengan Bogor menampung air terlebih dahulu sebelum ke Jakarta yang alirannya bersumber dari Sungai Ciliwung.
Tidak sampai situ, harapannya limbah sebagai output dari pemakaian air bersih diolah kembali hingga memenuhi standar untuk dibuang ke badan air. Kami berdiam sejenak dan sadar bahwa Pemerintah telah memulai langkah konkret, namun ada pihak lain yang seharusnya juga tidak kalah partisipatif dalam mewujudkan sistem pengelolaan air yang terintegrasi dan Jakarta yang ramah air. Masyarakat. Kami sepakat bahwa kami sebagai masyarakat bisa berpartisipasi dalam mewujudkan Jakarta sebagai kota yang ramah air.Â
Tapi gimana caranya? Kita bisa memulai dari menjaga kebersihan saluran atau sungai di sekitar kita. Tidak membuang sampah di sungai atau saluran mampu mempertahankan kapasitas tampungan untuk mencegah banjir.Â