"Ya, seriously. So, you've to go" aku tersenyum pada sahabatku yang sudah kukenal sejak kecil ini. Kami dulu tetangga, rumah kami bersebelahan. Namun delapan tahun lalu keluarganya menjual rumah tersebut untuk pindah ke tempat tinggal yang lebih besar karena rumahnya yang dulu hanya menampung dua kamar tidur, sedangkan Kartika telah memiliki empat orang adik. Sekarang menjadi lima orang adik.
Kartika menghela nafas. "Ok. Kalo lo masih mau lama di sini, gue jemput nyokap dulu terus balik ke sini lagi temuin lo. Gimana?" Aku mengernyitkan dahi. "Kenapa harus balik lagi?" tanyaku. "Agni, gue gak mungkin ninggalin lo sendirian di sini, gue gak mau lo kenapa-kenapa" jawab Kartika dengan wajah cemas. Kartika bersikeras untuk terus menemaniku. Agak aneh. Padahal sebentar lagi juga aku ditemani Arga. Arga akan datang. Namun aku menyetujuinya. Kami cipika-cipiki seperti perempuan--perempuan pada umumnya. "Hati-hati ,Tik" ujarku pelan dan aku yakin Kartika tidak mendengarnya.
Pukul 2. Sudah berulang kali aku coba memanggil Arga melalui ponsel namun tak ada jawaban. Tidak biasanya Arga seperti ini. Arga selalu tepat waktu bila berjanji. Aku merapikan alat tulisnya kemudian beranjak dari caf ini.
Hujan semakin deras. Aku berlari kecil menuju halte yang berjarak sekitar 300 meter dari caf itu. Aku tidak pernah membawa payung karena guyuran hujan selalu membuatku nyaman. Begitupun dengan Arga. Ketika hujan turun, kami justru sengaja bermain di bawahnya. Tetesan air hujan tak dapat menyamarkan senyum dan tawa kami.
Dari halte aku dapat melihat genangan air yang semakin lama semakin besar seiring dengan derasnya aliran air hujan yang turun. Sampai-sampai aku dapat melihat tubuhku sendiri dari genangan air itu.
"Agni" panggil seseorang dari seberang jalan. Suara yang begitu kukenal. Suara yang memberiku rasa aman ketika mendengarnya. Suara yang kurindukan hadir di telingaku. Aku tersenyum riang menyambut Arga dari halte ini. Arga akan menghampiriku.
Sebuah mobil minibus dengan kecepatan tinggi melaju dari arah barat.
"DUARRRRRRR"
Arga terpental sejauh 100 meter ke arah timur. Tubuhnya besar terkapar lemah di tengah jalan. Darahnya bercucuran dari kepala dan kakinya. Aku berteriak tak kuasa menahan tangis. Aku berlari menuju tempat Arga terjatuh. Aku ingin memeluknya agar ia merasa kuat. Aku tak mau Arga mati. Aku tak mau Arga mati.
Tangisku seketika sirna saat tiba di tengah jalan. Aku tak menemukan siapapun. Di mana Arga? Semua pengemudi menghentikan kendaraannya dan memberi klakson secara bersamaan. Membuatku semakin pusing. Di mana Arga?
Aku berteriak di bawah guyuran hujan. "Di mana Arga?" Tak lama sekumpulan orang datang menghampiriku. Mereka menarik lenganku, berusaha untuk menyingkirkanku. Ada apa dengan mereka? Aku hanya ingin bertemu Arga.