Aku masih dapat dengan jelas melihat punggungmu, samar sampai memburam lenyap bersama embun dari jendela kaca ini.
 "Hujan" sahut Kartika terdengar panik sehingga refleks membuatnya mundur satu langkah dari sampingku.
Aku memutar kepalaku sedikit ke kanan untuk memastikan bahwa Kartika memang benar--benar menjauh dari ujung atap halte kecil ini. Lalu tersenyum meledek ke arah Kartika yang disambut raut wajah cemberutnya.
Aku tak pernah takut hujan. Sedikit pun tidak. Sederas apa pun hujan yang turun, aku tidak pernah takut hujan. Kata orang hujan mengantarkan kenangan, dan aku tak pernah takut untuk mengenang. Bagiku hujan mengantar ketenangan dan kesejukan. Aku bahkan tak takut berada di tengah guyuran hujan karena hujan dapat menyamarkan air mata yang telah menderai di pipiku.
"Agni! Ayo naik!" seru Kartika.
Ternyata bus kota yang sedari kami tunggu, tiba juga. Aku dan Kartika melangkah memasuki angkutan umum yang sepi itu. Ini masih pukul 9. Setiba di kampus, dosen kami hanya memberi tugas, tidak dapat mengisi kelas karena ada keperluan. Aku dan Kartika rencananya akan pergi ke toko buku sekaligus mengerjakan tugas yang barusan diberi.
Di depan toko buku yang akan kami kunjungi, ada sebuah cafe. Cafe dengan desain terbaik di kotaku. Berhasil menarik pengunjung terutama kalangan remaja seusiaku yang lebih suka duduk lebih lama. Setiap hari, cafe ini tidak pernah sepi. Sampai-sampai aku selalu bertemu dengan orang yang kukenal bila mengunjungi tempat ini. Ini tempat favoritku. Tempat favorit Arga. Pacarku. Tempat favorit kami.
"Sampai kapan lo mau di sini?" tanya Kartika. Aku tidak langsung menjawab. Aku melihat sebuah arloji yang kupasang di pergelangan tanganku. Pukul 1. Ternyata sudah lama juga aku disini tapi Arga tak kunjung datang. Aku menunggu pacarku. Kami berjanji bertemu di tempat favorit kami. Aku mengangkat bahu untuk menjawab pertanyaan Kartika.
"Hujannya tambah deras" ujar Kartika mengeluh. Padahal tadi sekitar pukul 11, hujannya reda dan baru semakin deras setengah jam yang lalu. Dan padahal, Arga tidak pernah takut hujan. Sama sepertiku.
"Lo pulang duluan aja kalau mau pulang" ujarku pada Kartika sembari meneguk matchalatte yang kupesan di caf ini. Matchalatte adalah minuman favoritku. Rasanya yang tidak terlalu manis dan tidak juga pahit memberi kesan bahwa hidup itu seimbang. Antara manis dan pahitnya harus dirasakan bersama. Kala pahit, pasti ada manis yang mendampingi begitupun sebaliknya. Warnanya yang hijau memberi kesan yang sejuk. Pemandangan sehabis hujan dan secangkir matchalatte adalah hal yang sempurna bagiku.
"Hm...." Kartika sedikit bergumam sambil memegang dagunya yang lancip. Dagu sempurna yang menjadi impian semua orang, setidaknya menurutku. "Lo gapapa kalau sendirian? Gue harus jemput nyokap" jawab Kartika.