Mohon tunggu...
saraf hila
saraf hila Mohon Tunggu... -

berjalan untuk sebuah pengalaman dan belajar

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Menembus Batas (catatan perjalanan ke Tambora 1 dari 3 tulisan)

16 Maret 2013   16:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:39 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi sebagian orang, bulan ramadhan adalah bulan yang penuh dengan tantangan, ujian dan cobaan yang sangat berat, namun bagi sebagian lagi, ramadhan adalah bulan yang penuh dengan pengampunan dan berkah yang melimpah, inilah asumsi sebagian masyarakat kita tentang ramadhan. Tanggal 13 kami memulai perjalanan dari kota Bima ke dusun pancasila Kecamatan Tambora, kami hanya berencana hanya sampai di kabupaten Dompu dan menyimpan kendaraan kami di sana, perjalanan di mulai, di depan rumah saya, kami berdo’a kepada tuhan yang maha esa agar kami diberi keselamatan dalam perjalanan kami sampai kami kembali pulang ke rumah masing-masing, ada rasa haru di situ, namun inilah kenekatan dari kami, kata orang bima “nggomi dohoke ringu, bade puasa lampa ma do’o, ma tampara poda nggomi dohoke, au nifi menamu” ya kalo diterjemahkan dengan harfiah mungkin artinya “kalian ini sudah gila apa, sudah tau puasa masih saja melakukan perjalanan jauh, kalian benar-benar edan, apasih yang kalian mimpi semalam” kami hanya bisa cengengesan saja mendengar kata-kata tersebut. Di perjalanan menuju kabupaten dompu tepatnya sebelum tiba di obyek wisata mada pangga, saya di tahan oleh POLANTAS “polisi lalu lintas” yang sedang menggelar rajia, saya tidak bisa berkutik walau Amenk dan Ditho lolos dari rajia tersebut karena mereka langsung menerebosnya, apa mau dikata, uang di dompet tinggal 50.000 rupiah di ambil karena 35.000 rupiah karena kaca spion motor saya tidak ada, kata dalam hati kecil “itung-itung sedekah untuk mereka yang kelapa*** di tengah jalan lah hehehehehehe”. Setiba di kabupaten dombu, kami berpencar, Amenk dan Ditho mengambil jalur kota sedangkan saya mengambil jalur pinggir kota, namun akhirnya kami bertemu di Rasanggaro, perjalanan kami lanjutkan kembali, jarum jam sudah menunjukkan pukul satu siang, kami harus beristirahat, kami memilih beristirahat di kempo, setiba di tempat yang kami tuju untuk istirahat kami menyempatkan diri untuk memasak makan siang dengan bekal yang ada di tas kami. Memang harus di akui, bukan lelah karena perjalanan jauh yang kami khawatirkan, namun kendaraan kami yang sangat kami khawatirkan, bagaimana tidak, jalanan yang kami lewati memang beraspal setengah hotmiks alias jalanan kampung, namun bukan di aspalnya itu yang kendaraan kami lewati namun di jalan tanah di pinggir aspal itulah yang kami lewati dengan kerikil-kerikil yang bertebaran macam pasir, salah pegang kendali ya wassalam lah anda dengan kendaraan anda, kalo tidak luka berat paling-paling langsung wafat, ini kenyataan bukan ilusi. Dan satu lagi fakta, walau jalanan yang kami lalui penuh dengan kerikil dan batu-batu, kami puas dengan alam yang sangat indah selama perjalanan, khususnya ketika masuk daerah sabana sebelum perkampungan doro peti dan setelah melewati perkamungan doropeti, kami tidak bisa berkata, seumur-umur saya baru melihat sabana yang begitu luas sejauh mata memandang, ditambah dengan pemandangan laut yang sangat bersih dan biru, terlintas di pikiran saya “kenapa pemerintah daerah setempat tidak memanfaatkan sabana ini untuk massyarakat, semisal untuk tempat merumput sapi, kerbau, kuda dan yang lain-lain, pemerintah kasihlah modal ke masyarakat semacam anak sapi, kerbau, kambing, atau apalah, sungguh ironis, dan satu lagi, kenepa pemerintah yang mengelola jalan ini tidak membuat bagus jalan, padahal diseberang sana kata orang banyak sekali potensi yang belum tergali bahkan belum terekspos secara lebih, ah pemerintah yang bodoh, seandainya aku yang jadi kepala daerah mungkin akan ku berdayakan semua yang ada, mulai dari sabana, jalan, sampai apapunlah agar masyarakat jangan ada yang nganggur dan keluar negeri segala” itukan hanya pemikiran saya. Akhirnya kami tiba di perbatasan antara perkampungan doro peti dan pasar senen, orang-orang di sana menyebutnya tempat pasanggarahan atau tempat persinggahan, sekali lagi decaka kagum langsung keluar dari mulut saya dan teman-teman, Subhannallah sungguh indah tempat ini, walau tidak terawat dengan maksimal, sungguh indah lautannya, sungguh indah alam ini ya Allah, di situ kami sempat bertanya-tanya kepada masyarakat yang bermukim, saya menanyakan tentang pemikiran saya tadi, langsung dijawab “pemerintah kemarin sudah menyelenggarakan program bina desa tertinggal, masyarakat di beri bibit sapi dan kerbau, namun setahun setelah itu, semuanya sudah tidak ada, masyrakat lebih memilih untuk menjual ternak mereka karena mereka memilih untuk membuka ladang di lereng-lereng gunung, lihat disana, itu adalah hasil masyarakat membuka lahan untuk ladang, setiap musim hujan, pasti di sini banjir.” Sejenak memang saya perhatikan keadaan perbukitan disekeliling kampung tersebut, memang bukit tersebut sudah di jamah bahkan di gunduli habis-habisan hanya untuk menanam padi, kedelai dan jagung, dan ketika musim kemarau tiba, siap-siaplah menghirup debu yang sangat tebal walau tidak ada kendaraan yang melintas di perkampungan ini. Ironis memang, sekeliling kampung ini penuh dengan pohon-pohon yang rindang, namun di puncak bukit sudah menjadi profesor alias gundul di tengah, yeach mau kata apa lagi sudah, nasi sudah jadi bubur, alam sudah hancur bagaimana sekarang kita mengubah alam yang rusak ini menjadi alam yang alami lagi, pekerjaan yang sangat berat dan waktu yang cukup lama. Kami melanjutkan perjalanan, namun sebelumnya kami sempat bertanya dulu kepada masyarakat, arah untuk ke puncak tambora kemana? “kalian lurus saja, jangan ada belok-belok walau ada cabang, nanti sampai di dusun pancasila, nah sampai di sana kalian tanya, bagaimana caranya agar bisa sampai ke puncak tambora, oke” katanya “okelah pak, matur tengkiu pak atas informasi dan tempatnya.” “sami-sami mas, alon-alon yo mas, ojo kesusu” “busyet jowone nten mpundi pak?” “oo wong jowo to, aku seko prambanan mas, koe sekondi?” “kulo neng jogja pak, kuliah pak neng kono” “ooo yo wis hati-hati yo mas, sukses yo” “nggeh pak, matur nuwun sangat pak” “nggeh nggeh”. Ternyata di kampung ini masyarakatnya adalah masyarakat transmigrasi dari pulau jawa, bali, dan lombok, pantas saja kami melihat satu dua pure di pinggir pantai, perjalanan kami lanjutkan lagi dengan kondisi jalanan 1% layak sebagai jalan setapak dan 99% tidak layak dikatakan sebuah jalan aspal, namun kami tetap harus melewatinya sampai ke dusun pancasila.

Diperjalanan kami hanya bertanya-tanya antar sesama, dimana ya calabai itu, apakah desa atau perkampungan atau kelurahan yang berada di pinggir pantai atau daerah yang ada di puncak bukit nanti atau dimana, kami hanya bertanya-tanya saja tanpa berani menanyakan kepada masyarakat, takutnya kami di ketawain, bagaimana tidak daerah yang terkenal dengan hasil hutannya dan utamanya daerah yang masuk di administratif kabupaten dompu yang notabene adalah kami juga tidak mengetahui calabai? Apa kata dunia?. Akhirnya kami sampai di kecamatan pekat, ini adalah kecamatan terluar dari kabupaten dombu, di sini kami sempat mengontak teman-teman yang berada di kota bima untuk menanyakan arah ke dusun pancasila, kata teman-teman sama seperti kata bapak tadi “lurus terus jangan ada belok-belok nanti kalian pasti sampai di dusun pancasila” kami menurut saja, ternyata jalanan yang kami lalui semakin parah, 0% layak untuk di lalui alias melintas diatas tumpukan batu kapur yang sama sekali tidak rata, saya hampir terjungkal dari kendaraan saya, Amenk dan Ditho alhamdulillah selamat walau spackboard motornya sudah robek gara-gara dihantam oleh tumpukan batu kapur tadi. =-to be continue-=

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun