Indonesia lagi-lagi kehilangan sosok ekonom brilian yang kritis dan berintegritas yaitu Faisal Basri. Ekonom pendiri Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) ini lahir di Bandung dan meraih gelar sarjana di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 1985 hingga kemudian melanjutkan studinya dan meraih gelar MA di Vanderbilt University, USA pada tahun 1988 silam.
Selama hidupnya, beliau aktif mengkritisi berbagai kebijakan yang memiliki kemungkinan merugikan banyak masyarakat dan memperjuangkan nilai-nilai demokrasi dan keadilan di dunia ekonomi dan politik tanah air. Bukan hanya itu, beliau juga sangat lantang bersuara dalam isu green economy yang berhubungan dengan keadilan ekonomi dan ekologis.
Seperti kita ketahui bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman kekayaan alam yang melimpah ruah; flora, fauna, hingga hasil mineral bumi, membuat negara ini memiliki resiko besar dalam hal pengelolaannya yaitu kerusakan lingkungan. Sehingga ini akan berdampak bukan hanya pada alam saja tetapi juga masyarakat itu sendiri.
Sebelum wafat, Faisal Basri kerap kali melemparkan kritik tajam pada kebijakan pemerintah yang berpotensi dapat membahayakan alam. Di mana, dari kerusakan yang terjadi sebagai akibat dari eksploitasi besar-besaran pada alam akan menghasilkan dampak negatif dan mengancam masa depan kita.
Sebut saja kebijakan hilirisasi nikel, Faisal Basri tidak hanya menyoroti problem lingkungan sebagai disrupsi yang masif bagi umat manusia dan melahirkan krisis alam, tetapi bagimana dari sisi ekonomi kegiatan hilirsasi ini justru lebih banyak di nikmati oleh negara lain. Sementara Indonesia hanya menerima sedikit manfaat dan lebih banyak eksternalitas negatif dalam jangka panjang.
Sehingga Faisal Basri dalam diskusi ngobrol Tempo yang bertahuk "Menemukan Jalan Subsidi BBM Tepat Sasaran" menambahkan lebih lanjut tentang harapannya bagimana pemerintah dapat benar-benar mewujudkan konsep green economy yang 'sesuai'.
Dalam hal ini jangan sampai kebijakan green economy tersebut seolah seperti isapan jempol belaka. Artinya, kebijakan ini perlu ditanggapi dengan serius dan tidak diotak-atik hanya demi kegiatan investasi khususnya pada sektor-sektor mineral yang sudah jelas berpotensi besar dapat merusak alam dan merugikan masyarakat sekitar.
Green economy dan masa depan Indonesia
Istilah green economy pertama kali diciptakan oleh sekelompok ekonom lingkungan terkemuka yaitu David Pearce, Anil Markandaya, dan Edward Barbier dalam sebuah laporan pemerintah Inggris yang berudul "Blueprint for a Green Economy" pada tahun 1989.