Mohon tunggu...
Eko Gondo Saputro
Eko Gondo Saputro Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Menjadikan menulis sebagai salah satu coping mechanism terbaik✨

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Rupiah Anjlok ke Level Rp16.000/US$, Ini Penyebab dan Dampaknya

13 April 2024   21:15 Diperbarui: 13 April 2024   22:55 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kondisi perekonomian suatu negara menjadi sebuah tolak ukur kesejahteraan bagi masyarakatnya. Pada dasarnya ketika masyarakat sejahtera, maka negara tidak hanya berhasil dalam mengelola sumber daya yang anda menjadi nilai ekonomi saja, tetapi sebagai gambaran seberapa majunya negara tersebut.

Terdapat beberapa indikator ekonomi yang bisa menggambarkan keberhasilan negara dalam perekonomiannya. Indikator yang paling banyak digunakan oleh ekonom-ekonom dunia adalah pertumbuhan ekonomi yang digambarkan melalui Produk Domestik Bruto (PDB). Namun seriing dengan berjalannya waktu penafsiran indikator ekonomi ini bisa didefinisikan secara lebih luas lagi.

Misalnya investasi, baik dari dalam maupun luar negeri (FDI) yang menjadi sebuah acuan keyakinan terhadap aktivitas ekonomi dari suatu negara. 

Atau dari konsumsi masyarakat yang erat kaitannya dengan laju inflasi yang kemudian mempengaruhi daya beli masyarakat juga bisa menjadi simbol bahwa perekonomian negara sedang baik-baik saja.

Beberapa bulan terakhir ini Indonesia dilanda berbagai macam isu ekonomi yang mengkhawatirkan. Mulai dari harga bahan pangan seperti beras yang melambung tinggi, kenaikan tarif pajak, hingga sentimen ekonomi secara global akibat dari melemahnya laju perekonomian negara-negara besar seperti China, Inggris, dan Jepang.

Bank Indonesia memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi global di tahun 2024 lebih kuat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, namun melihat kondisi negara mitra dagang terbesar Indonesia yang pertumbuhan ekonominya tidak sedang dalam keadaan yang baik-baik saja menjadi pertanda bahwa Indonesia akan ikut terkena dampaknya juga.

Tidak berhenti sampai permasalahan ekonomi global yang belum membaik, Indonesia juga harus dihadapkan juga dengan permasalahan domestik yang membuat kondisi perekonomian negeri bisa saja lebih memburuk dibandingkan dari yang diperkirakan.

Iklim politik yang memanas dan tak kunjung usai, harga-harga yang tidak stabil, beban pajak yang ditanggung masyarakat yang semakin berat, membuat pemerintah perlu waspada terhadap proyeksi jangka pendek maupun jangka panjang dari perekonomian Indonesia nantinya.

Kabar terkini yang sedang menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan masyarakat adalah kondisi melemahnya rupiah yang terjadi baru-baru ini. 

Merosotnya nilai rupiah terhadap Dolar AS yang sudah menyentuh di angka lebih dari Rp 16.000 per 1 US$ membuat banyak masyarakat heboh karena khawatir akan dampak ekonomi yang dihasilkan dari isu tersebut.

Sumber: Shutterstock
Sumber: Shutterstock

Dolar AS jadi patokan mata uang dunia
Jika kita tarik benang sejarah, peran dolar yang menjadi patokan mata uang dunia bukanlah sesuatu hal yang begitu saja terjadi. Terdapat sejarah panjang hingga akhirnya mata uang Dolar AS tidak hanya menjadi sebuah mata uang resmi yang digunakan di negaranya saja tetapi dapat menjadi mata uang global dan bahkan menjadi penentu arah perekonomian dari negara-negara lain yang ada di dunia.

Melansir dari laman Investopedia, mata uang dolar pertama kali dicetak pada tahun 1914, atau setahun setelah pendirian Federal Reserve sebagai bank sentral Amerika Serikat. 

Namun, perlu waktu yang sangat panjang untuk membuat mata uang dolar memiliki power yang yang kuat di dalam skala global khususnya dalam sistem moneter internasional.

Seperti kita ketahui bahwa sebelum uang kertas hadir sebagai alat transaksi pembayaran, saat itu emas lebih dahulu digunakan sebagai alat transaksi pembayaran populer baik antar masyarakat hingga antar negara sekalipun.

Namun seiring berjalannya waktu, melihat karakteristik dan ketersediaan emas dunia pada saat itu dan juga The Great Depression yang terjadi sebagai akibat dari Perang Dunia, membuat emas tidak lagi digunakan kembali sebagai standar nilai tukar mata uang dunia sejak tahun 1934 bahkan hingga setelah Perang Dunia II.

Puncaknya adalah ketika diberlangsungkannya Bretton Woods Agreement, di mana berkumpulnya negara-negara pemenang perang untuk membahas sistem moneter internaisonal yang baru. Kemudian lahirlah sistem baru yang menjadikan dolar AS akan dipegang oleh emas dengan nilai tetap, dan mata uang lainnya akan dikaitkan dengan dollar AS.

Pada tahapan ini dolar AS lahir dan memiliki kedudukan sebagai mata uang dalam sistem moneter internasional. Bahkan Inggris yang pada saat itu masih menjadi pusat perdagangan dunia dengan kekuatan poundsterlingnya harus mengakui kekuatan dolar AS dan beralih menggunakannya sebagai alat transaksi internasional.

Hingga akhirnya banyak negara-negara lain yang ikut mempercayakan penggunaan dolar sebagai alat transaksi pembayaran internasional hingga akhirnya menetapkan dolar AS sebagai standar reservasi atau cadangan devisa global.

Oleh karena itu, ini yang menyebabkan kuat atau lemahnya kondisi dolar di AS kemudian akan berpengaruh besar terhadap negara-negara lain di seluruh dunia baik secara langsung maupun tidak langsung.

Rupiah anjlok, apa penyebab dan dampaknya?
Baru-baru ini kabar melemahnya rupiah santer menjadi bahan perbincangan warganet di social media X. Terlebih lagi masyarakat Indonesia baru beberapa hari saja merasakan euforia hari raya idul fitri. Dengan adanya berita ini sontak membuat banyak masyarakat khawatir akan kelangsukan kondisi perekonomian Indonesia dalam waktu dekat ini.

Belum lagi Indonesia masih dihadapkan dengan sengketa pemilu yang membuat iklim politik di negeri ini masih saja memanas, hingga harga bahan pangan yang masih belum seluruhnya stabil dan merata, membuat kekhawatiran akan kondisi ekonomi Indonesia baik jangka pendek maupun jangka panjang semakin menjadi-jadi lagi.

Menurut data dari Google Finance per tanggal 13 April 2024 yang dibuka pukul 08:18 pagi, nilai 1 US$ adalah Rp 16.117. Padahal sebelumnya nilai tukar rupiah berhasil mencatatkan penguatan dalam perdagangan akhir pekan menyabut libur panjang lebaran pada jum'at lalu tanggal 05 April 2024 di level Rp 15.845.

Namun setelah hari raya idul fitri, nilai tukar rupiah melemah dan terus merosot bahkan hingga melebihi angka Rp 16.000. Melemahnya rupiah ini menurut berbagai pengamat disinyalir berasal dari faktor global, di mana dollar AS mulai menguat di saat kondisi geopolitik dan ekonominya yang tidak menentu.

Tidak hanya datang dari AS saja, China sebagai mitra dagang terbesar Indonesia juga menghadapi krisis ekonomi khususnya dalam sektor perdagangan dan properti. Di mana nilai ekspor dan impor mengalami penurunan drastis dan kredit macet pada sektor propeti yang melonjak tinggi membuat perekonomian China diperkirakan akan melambat pada tahun ini.

Maka dapat dikatakan bahwa melemahnya rupiah ini tidak terlalu mengejutkan jika dihubungkan dengan dua negara terkuat dalam perekonomian dunia yaitu Amerika Serikat dan China. Menguatnya dollar AS serta melemahnya perekonomian China sebagai mitra dagang terbesar Indonesia membuat pelemahan terhadap rupiah sangatlah jelas.

Ketika rupiah melemah, maka Indonesia perlu mewaspadai beberapa dampak yang akan dirasakan oleh negara. Salah satu yang paling akan terasa dampaknya adalah kenaikan harga-harga pada barang dan jasa tertentu.

Misalnya dari sisi para pelaku ekonomi atau perusahaan yang bergantung pada bahan baku impor, akan berpotensi mengalami kenaikan harga bahan baku. Tentunya ini akan menjadi pilihan berat bagi perusahaan di mana mereka harus memilih antara memperkecil margin keuntungan atau menaikkan harga jual kepada masyarakat.

Seperti kita ketahui juga bahwa impor Indonesia terbilang sangat tinggi. Jika kondisi rupiah terus melemah dalam jangka waktu beberapa bulan ke depan, maka kenaikan harga-harga pada barang dan jasa tertentu tidak dapat terhindarkan.

Kemungkin besar akan banyak perusahaan-perusahaan yang akan lebih memilih menaikkan harga dibandingkan memperkecil margin keuntungan agar bisa bertahan di dalam kondisi perekonomian seperti ini.

Jika harga-harga terus mengalami peningkatan, maka inflasi akan lebih nyata berada di depan mata kita. Ketika inflasi meningkat secara drastis, tentu akan berdampak pada menurunnya kesejahteraan masyarakat yang ditandai dengan menurunnya daya beli masyarakat. Dan selanjutnya kondisi ini juga akan berdampak secara lebih luas lagi terhadap pertumbuhan ekonomi negara.

Oleh karena itu, diperlukan langkah yang cepat dan cermat dari pemerintah melalui kebijakan moneternya agar dapat mengendalikan permasalahan ini. Karena hanya melalui intervensi pemerintahlah dampak melemahnya rupiah yang dapat merugikan masyarakat ini bisa diminimalkan.

Melemahnya rupiah memang berasal dari kondisi perekonomian global yang tidak sedang dalam keadaan yang baik-baik saja, tetapi besar kecilnya dampak yang akan dirasakan oleh masyarakat ditentukan oleh bagaimana kemampuan pemerintah dalam mengelola berbagai resiko yang timbul dari permasalahan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun