Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terkadang seperti pisau bermata dua. Tujuan akhir dari sebuah kebijakan adalah untuk kemajuan negara dan tentunya kesejahteraan masyarakatnya. Namun pasti ada saja sisi negatif yang bisa berdampak pada pihak-pihak tertentu baik di dalam tatanan negara maupun masyarakat itu sendiri.
Dalam hal ini tentu pemerintah akan melakukan evaluasi dan manajemen risiko terkait kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan. Meskipun memiliki tujuan yang baik namun pemerintah pasti tidak dapat memungkiri bahwa pasti akan ada hal negatif yang mengikutinya.
Oleh karena itu manajemen risiko di sini adalah melihat seberapa besar dampak positif dan negatif yang dihasilkan dan apabila terdapat dampak yang negatif, apakah pemerintah dapat menganggulanginya dengan baik. Ketika semua pertimbangan itu telah dilakukan maka kebijakan tersebut dapat diberlakukan.
Dalam kebijakan keuangan, kita mengenal istrilah kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Sederhananya, kebijakan moneter berhubungan dengan jumlah uang beredar (JUB) dan stabilitas harga. Sementara kebijakan fiskal, biasanya berhubungan dengan keseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran negara.
Kedua kebijakan ini juga akan menentukkan bagaimana arah perekonomian dari negara. Oleh karena itu, kedua kebijakan ini dapat dibuat ketat (kontraktif) maupun longgar (ekspansif) sesuai dengan kondisi perekonomian negara yang memiliki tujuan agar terciptakan stabilitas ekonomi.
Beberapa kebijakan moneter dan fiskal yang dekat dan mungkin sebagian besar orang tau adalah terkait suku bunga dan pajak. Kebijakan moneter biasanya berhubungan dengan kebijakan naik atau turunnya suku bunga sesuai dengan situasi keuangan yang dihadapi oleh negara.
Kebijakan fiskal akan erat kaitannya dengan kebijakan naik atau turunnya tarif pajak. Ketika negara ingin mendorong konsumsi dan investasi, maka tarif pajak akan diturunkan. Sedangkan ketika negara menghadapi situasi defisit anggaran hingga inflasi, maka tarif pajak dapat dinaikan untuk menjaga stabilitas perekonomian negara.
Di tengah semerawutnya masyarakat dalam menghadapi kenaikan harga pokok, baru-baru ini banyak portal berita yang mengangkat isu rencana kenaikan tarif PPN yang semula 11% menjadi 12% yang akan berlaku di tahun 2025 nanti.
Banyak masyarakat yang menanggapi kebijakan ini dengan sinis, terlebih lagi ditengah kondisi kenaikan harga bahan pokok yang belum nemenui titik terang untuk kembali normal. Namun ternyata kebijakan ini memang penerapannya bertahap. Pada tahun 2022 lalu, tarif PPN meningkat dari semula 10% menjadi 11%.
Kebijakan kenaikan tarif PPN bertahap ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang lebih lanjut lagi diatur dalam Bab IV pasal 7 ayat (1) dan (2) tentang PPN.Â