Pada tanggal 23 Mei 2023 lalu, diadakan acara Arisan 6301 dengan tema 'Pariwisata Nusantara: Literasi dan Numerasi' yang narasumbernya adalah Myra Puspasari Gunawan seorang dosen Institut Teknlogi Bandung (ITB) di bidang planalogi sekaligus perintis program studi dan penelitian pada bidang pariwisata.
Dalam pemaparannya terdapat beberapa poin penting yang salah satunya adalah bagaimana pemerintah menetapkan destinasi prioritas karena dalam hal ini memilih taman nasional sebagai destinasi wisata. Selain itu Myra juga menegaskan bahwa pemerintah tidak hanya berfokus dalam mengejar dampak wisata terhadap perekonomian saja, namun harus memperhatikan dampak terhadap masyarakat lokal yaitu kesejahteraan.
Seperti kita ketahui juga bahwa Taman Nasional merupakan salah satu jenis kawasan kovervasi, yang mana pemerintah telah menetapkan wilayah atau kawasan tersebut harus dan wajib dilindungi agar tetap lestari. Artinya, ketika berhubungan dengan 'pengunjung' maka tentunya terdapat batasan yang dalam pengaplikasiannya tidak sama seperti destinasi wisata pada umumnya.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenkraf) sedang giat-giatnya mempromosikan Taman Nasional seperti Taman Nasional Pulau Komodo sebagai destinasi wisata yang menarik. Berbagai cara dilakukan pemerintah dalam mengenalkan Taman Nasional Pulau Komodo kepada dunia, salah satunya seperti dengan mengajak tamu-tamu penting pemerintah hingga orang-orang tersohor dari berbagai pelosok dunia untuk berwisata di Taman Nasional yang terkenal dengan keindahan laut biru dan spesies kadal terbesar di dunia itu.
Bagaimana sejarah ide penggunaan wilayah konservasi sebagai destinasi wisata?
Berbicara tentang sejarah, pada pertengahan abad ke-20, dengan bangkitnya pembangunan internasional, pemerintah dan lembaga-lembaga pembangunan baru mempromosikan pariwisata sebagai alat untuk memajukan masyarakat lokal. Pariwisata juga dianggap sebagai indikator kemajuan nasional dan simbol suatu negara yang telah memasuki 'tahapan menuju modernisasi'.
Pada akhir tahun 1980-an, para ahli pembangunan mulai menolak 'pendekatan modernisasi' yang bersifat top and down ini. Mereka mempertanyakan nilai dan dampak dari pertumbuhan ekonomi dan menentang gagasan bahwa pariwisata dapat memberikan 'paspor pembangunan' bagi suatu negara. Dalam hal ini mereka lebih menyukai kepedulian yang lebih demokratis dan menyeluruh terhadap manusia dan alam atau disebut dengan pembangunan berkelanjutan.
Kemudian pariwisata bergeser ke ekowisata atau wisata alam, yang kemudian para pemangku kepentingan di seluruh industri mengambil peluang dan peran baru. Masyarakat lokal bermitra dengan perusahaan pengelola wisata dan LSM dengan harapan dapat menarik perhatian wisatawan terhadap wilayah, tradisi, dan sumber daya alam yang ada.