Jogja itu seperti miniaturnya Indonesia. Segala adat, seni, dan budaya dibiarkan berkembang bersama. Sebagai bagian dari sikap toleransi yang senantiasa harus dijaga, dan pengejawantahan dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
***
Hujan mulai turun dengan deras sore itu, ketika saya menapakkan kaki di Westlake Resto. Sebuah restoran taman yang menawarkan view cantik dan menawan yang beralamat di Jl Ring Road Barat, Bedog Trihanggo Sleman.
Kebetulan saya menjadi salah satu dari 12 orang dari komunitas blogger Kompasianer - Jogja (K-Jog) yang diundang oleh panitia Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta pada Senin, 29 Januari 2018 lalu pukul 17.00 WIB. Untuk mendengarkan paparan mereka tentang aneka kegiatan seru yang akan digelar selama 7 hari mulai tanggal 24 Februari sampai 2 Maret 2018 mendatang di Kampoeng Ketandan.
Kegiatan Pekan Budaya Tionghoa yang biasa disingkat PBTY merupakan agenda rutin yang digelar setiap tahunnya, dan tahun 2018 ini memasuki tahun ke -13 penyelenggaraan.Â
Berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, event perayaan dalam rangka menyambut imlek ini mampu menyedot massa. Lautan manusia tumpah ruah di daerah Ketandan dan sekitarnya. Menikmati suasana perayaan dan seni budaya khas Tionghoa yang identik dengan warna kuning emas dan merah menyala.Â
Saya sendiri belum terlalu mengenal budaya Tionghoa, hanya barongsai yang saya familiar, dan pernah melihat live show nya. Jadi saya merasa beruntung sekali bisa hadir di acara ini. Karena saya akan memperoleh gambaran mengenai beragam budaya Tionghoa khususnya yang yang akan ditampilkan di Pekan Budaya Tionghoa XIII.Â
Pukul 17.15 WIB, hujan belum juga reda, ketika seorang kawan mengajak saya dan teman-teman K-Jog lainnya masuk ke meeting room. Ternyata acara akan segera dimulai. Panitia dari PBTY XIII sudah hadir semua, dan kami pun siap mendengarkan pemaparannya.Â
Sejarah PBTY
Dari penjelasan panitia, saya memperoleh informasi bahwa kegiatan PBTY ini berawal dari ide seorang dosen Teknologi Pertanian UGM bernama ibu Murdijati Gardjito yang ingin mendokumentasikan kekayaan kuliner Tionghoa yang ada di Indonesia. Keinginan tersebut disambut baik oleh Sultan Hamengku Buwono X, yang ingin menggagas Jogja sebagai City of tolerance yang menghargai keberagaman budaya masyarakatnya termasuk Tionghoa.