Mohon tunggu...
Sapta Arif
Sapta Arif Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menyukai pepuisi, cerita-cerita, kopi, dan diskusi hingga pagi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | "Bhip!"

2 Maret 2018   09:20 Diperbarui: 2 Maret 2018   09:31 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: trentmunday.com

Mungkin kau bertanya-tanya siapa namaku. Sejujurnya, sejak penculikan itu, bapakku tidak pernah memberiku nama. Lalu nama yang pernah diberikan oleh susterku, sudah kulupakan. Karena nama merupakan kelemahan: kata bapakku. Sebuah nama hanya akan menimbulkan kenangan bagi sesiapa. Setiap saat aku bisa dipanggil oleh majikanku.

Tentunya kau sudah tahu, majikanku menanamkan sebuah microchip di batok kepalaku. Katanya ini berfungsi sebagai sinyal pemanggil dan pengatur perintah. Lalu dari tempat jauh, majikanku selalu membawa remot pemanggil sebesar ponsel yang berfungsi mengirimkan perintah ke microchip di batok kepalaku.

Mudah saja memakainya, tinggal pencet tombol pemanggil dan berikan instruksi, kemudian kepalaku akan terasa nyeri, dan ada bunyi: BHIP!---di telingaku yang menandakan ada tugas yang menanti. Lalu otakku segera membaca instruksi yang diberikan oleh majikanku. Aku harus segera mengerjakan instruksi itu karena jika dalam waktu yang ditentukan aku tak bisa menyelesaikan tugasku, kata bapakku, ada semacam bom yang kapan saja bisa meledak dari dalam perutku. Maka dari itu, aku sudah tidak bisa menghindar bahkan membangkang dari majikanku---orang yang bahkan tak pernah kujumpai wajahnya sama sekali.

Jangan coba-coba kau tanyakan padaku tentang hak asasi manusia, hak hidup atau hak untuk merdeka: bagiku semua itu bajingan tengik yang tak ada buktinya di dunia ini. Aku sudah menanggalkan itu semua sejak suster menemukanku di sudut halaman gereja.

"Bhip!"

Tanda perintah datang. Otakku langsung memproses perintah itu. Setelah terbaca, aku bergegas mengganti wajah. Kulepas wajahku yang sekarang, lalu kubuka tasku. Ada banyak wajah yang bisa kupilih di sana. Namun, kali ini aku mendapatkan peran sebagai pemuda berjas hitam dengan sepatu yang mengilap. Rupanya aku punya misi khusus kali ini, bergegas kupanggil taksi agar bisa berbaur dengan orang pada umumnya.

"Selamat sore! Mau ke mana hari ini?"

"Retro Kafe!"

"Anda terlihat lesu pagi ini, sakit?"

Sopir itu mencoba mengajakku berbincang. Dari kaca depan mobilnya bisa kulihat wajah menjengkelkannya. Dia terus mencoba mengajakku berbicara, meski kutanggapi dengan nada yang tak enak. Namun, dia tetap kukuh, mengajakku berbincang.

Dia pun masih saja terus mengajakku berbincang meski taksi yang dikendarainya sudah sampai di tempat tujuan. Dia pun menoleh padaku dengan wajah yang begitu menyebalkan itu. Aku mengeluarkan uangku untuk membayar biaya taksi itu. Dia masih tersenyum dengan sangat menyebalkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun