Jangan pernah berbisik ketika aku datang melewati kalian. Karena jika aku tidak suka, akan kutebas nyawa kalian dalam hitungan tangan. Jangan pula kalian menjadi sokkenal atau ramah ketika berpapasan, karena jika aku tak suka, kepala kalian akan melayang ke jatuh ke tanah dengan luka bersimpah darah.
Tak perlu kau tanyakan namaku, tak perlu juga kau hapalkan raut wajah yang memengggal kepala temanmu itu, karena dalam hitungan sepersekian, wajahku akan berubah menyesuaikan peran yang kumainkan. Tak perlu kau lakukan usaha-usaha konyol dengan menelpon aparat kepolisian, atau bahkan melapor ke TNI, kau hanya akan mendapat jawaban-jawaban yang tak ada pertanggungjawaban.
Sia-sia juga jika kau mencoba lari, napasmu akan tersengal oleh kapak yang sudah melingkar di lehermu. Lebih baik diam, pasrah dan berdoa jika kau bertemu lelaki sepertiku.
Aku tidak pernah menyalahkan sesiapa, ketika aku kecil sudah diajari memegang senapan, berburu macan dan memenggal berbagai kepala hewan. Aku juga tak pernah menyalahkan bapak ibuku yang meninggalkanku terbungkus oleh selimut tipis yang dimasukkan ke kardus bekas televisi dan meletakannya di samping gereja.
Kamupun tak perlu menyalahkan suster yang lalai menjagaku saat bermain di lapangan sehingga segerombol orang berseragam hitam-hitam---dengan wajah tertutup masker hitam pula--- menculikku dengan membawaku ke mobil mereka. Jangan menyalahkan sesiapa kecuali pada nasibmu sendiri yang tidak seberuntung aku.
Aku yang baru berusia sepuluh tahun, dengan rutin diajak ke hutan setiap akhir pekan. Orang asing itu---aku dipaksa memanggilnya "bapak"---, mengajariku memegang senapan sehingga dalam usia ke-tujuh belas, aku sudah mahir berburu macan. Apa saja bisa kupenggal dalam hitungan sepersekian.
Aku selalu diajari gerakan cepat memenggal hewan. Bahkan juga diajari bagaimana melakukan reflek yang baik ketika diserang. Setiap hari aku diajari berburu hewan tanpa belas kasihan. Bapak---orang asing itu---mengharamkanku untuk memiliki rasa kasihan: "Perasaan kasihan hanya akan melemahkan jiwamu, Nak."
Kini aku bertengger di ujung jembatan dengan misi yang disematkan oleh majikan. Selembar foto sudah diberikan, dan tinggal eksekusi yang akan kulakukan. Lelaki---yang menjadi targetku---itu masih bercengkrama dengan istri dan anaknya di taman kota. Anaknya terlihat membuka mulutnya dengan suara yang sangat keras yang memang membuat risih telingaku. Namun bapak dan ibu anak itu selalu tertawa ketika anak kecil itu melakukannya berulang-ulang.
Lalu tiba-tiba bapak dari anak itu memisahkan diri, dia berjalan menuju kamar mandi yang terletak di tengah-tengah taman. Kesempatan yang bagus untukku. Aku berjalan menuju kamar mandi dan bersiap untuk melakukan eksekusi. Aku menunggunya di lorong kamar mandi.
Kutunggu beberapa saat, kemudian lelaki itu berjalan keluar dari kamar mandi. Dan benar saja, wajahnya mirip dengan orang yang ada di foto. Akupun berjalan perlahan dan setelah berpapasan  dengan lelaki itu, kubungkam mulutnya dari belakang dan kupotong urat nadi yang ada di lehernya. Lelaki itupun mati seketika.
Akupun bergegas keluar dari lorong, kulepas wajahku lalu kubuang di tempat sampah. Aku tak perlu khawatir jika ada saksi mata yang mengenali wajahku, karena setiap saat wajahku bisa berubah bergantung pada peran yang kumainkan. Ada banyak sekali stok wajah di tasku. Kulitnya pun begitu tipis dan lembut, sehingga tidak membuatku kesulitan ketika memasang dan melepas. Yang membuat aku dikenali oleh majikanku adalah tanda lahir yang ada di pundak kiriku.