Setiap tanggal 21 April, Bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini. Hari Kartini diperingati sebagai bentuk penghormatan pada Ibu Kartini yang telah berjuang untuk mendapatkan kesetaraan hak perempuan dan laki-laki di masa lalu. Ibu Kartini adalah sosok pelopor persamaan derajat perempuan nusantara yang mendedikasikan intelektualitas, gagasan, dan perjuangannya untuk mendobrak ketidakadilan yang dihadapi. Sebagai pemikir dan penggerak emansipasi perempuan, Kartini menjadi sumber inspirasi perjuangan perempuan yang mengidamkan kebebasan dan persamaan status sosial dengan keberhasilannya menuliskan pemikirannya secara runut dan detail.
Kebebasan dan persamaan dalam peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman, yang lebih sering dikenal dengan istilah gender. Istilah gender ini pertama kali dikemukakan oleh para ilmuwan sosial, mereka bermaksud untuk menjelaskan perbedaan laki-laki dan perempuan yang mempunyai sifat bawaan (ciptaan Tuhan) dan bentukan budaya (konstruksi sosial).
Keberhasilan perjuangan kesetaraan gender yang dipelopori oleh Ibu Kartini sampai dengan saat ini, dapat dilihat dari berbagai macam indikator antara lain Indeks Pembangunan Gender (IPG), Indeks Ketimpangan Gender (IKG), serta Indeks Pemberdayaan Gender. Untuk melihat sejauh mana kesetaraan gender yang ada di Indonesia, kita dapat melihat melalui capaian Indikator Indeks Ketimpangan Gender (IKG). IKG menjadi indikator yang paling sesuai untuk melihat sejauh mana ketimpangan gender yang ada di Indonesia.
IKG merujuk pada metodologi yang digunakan oleh United Nations Development Programme (UNDP) dalam menyusun Gender Inequality Index (GII) 2010 dengan menyesuaikan data yang tersedia. IKG berfokus mengukur kesenjangan pencapaian antara perempuan dengan laki-laki dalam tiga dimensi yaitu (1) kesehatan reproduksi, (2) pemberdayaan, dan (3) pasar tenaga kerja. Indikator dimensi kesehatan reproduksi adalah proporsi perempuan pernah kawin 15- 49 tahun yang melahirkan tidak di fasilitas kesehatan (MTF) sebagai proksi indikator angka kematian ibu dan proporsi perempuan pernah kawin 15-49 tahun yang saat melahirkan anak lahir hidup pertama berumur kurang dari 20 tahun (MHPK20) sebagai proksi indikator fertilitas remaja. Indikator dimensi pemberdayaan adalah persentase kursi legislatif (DPR/DPRD) yang diduduki oleh perempuan dan laki-laki, serta persentase penduduk 25 tahun ke atas perempuan dan laki-laki dengan pendidikan SMA ke atas. Indikator dimensi pasar tenaga kerja adalah partisipasi dalam angkatan kerja (TPAK) perempuan dan laki-laki. Nilai IKG yang rendah menunjukkan rendahnya ketimpangan antara perempuan dengan laki-laki, begitu pula sebaliknya.
Menurut data Badan Pusat Statistik, IKG tahun 2022 sebesar 0,459, turun 0,006 poin dibandingkan tahun 2021 yang sebesar 0,465. Perbaikan ini dipengaruhi oleh peningkatan capaian dimensi kesehatan reproduksi dan pemberdayaan. Perbaikan dimensi kesehatan reproduksi dipengaruhi oleh perbaikan indikator perempuan melahirkan anak lahir hidup tidak di fasilitas kesehatan yang turun dari 15,4 persen tahun 2021 menjadi 14,0 persen pada tahun 2022. Perbaikan dimensi pemberdayaan dipengaruhi oleh perbaikan indikator persentase perempuan 25 tahun ke atas yang berpendidikan SMA ke atas yang meningkat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Persentase perempuan meningkat dari 34,87 persen tahun 2021 menjadi 36,95 persen, sedangkan persentase laki-laki meningkat dari 41,30 persen menjadi 42,06 persen pada tahun 2022.
Dalam skala regional ASEAN, penggukuran ketimpangan gender menggunakan indikator yang digunakan secara global, yaitu Gender Inequality Index (GII) yang disusun oleh UNDP yang terdiri dari dimensi ekonomi, pemberdayaan sosial, dan kesehatan reproduktif, yang sedikit agak berbeda dengan IKG.
Pada tingkat ASEAN, Singapura menjadi negara dengan capaian ketimpangan gender paling baik. Tercatat GII Singapura pada 2021 sebesar 0,040. Dari dimensi pembentuknya, Singapura lebih unggul di hampir semua dimensi kecuali pada dimensi pemberdayaan, yaitu pada indikator kontribusi parlemen perempuan yang masih di bawah 30 persen.
Malaysia dan Brunei Darussalam menjadi negara selanjutnya yang memiliki tingkat ketimpangan gender yang baik setelah Singapura. GII Malaysia pada 2021 sebesar 0,228 dan Brunei Darussalam sebesar 0,259. GII yang rendah di kedua negara tersebut ditopang oleh dimensi kesehatan reproduksi, dimensi pemberdayaan pada indikator tingkat pendidikan minimal menengah, dan dimensi pasar tenaga kerja. Namun, pada indikator kontribusi perempuan dalam parlemen relatif lebih rendah yaitu masih di bawah 15 persen.
Selanjutnya, Vietnam memiliki tingkat GII yang relatif rendah kemudian disusul oleh Thailand. Kedua negara tersebut memiliki capaian yang baik pada dimensi kesehatan reproduksi dengan angka kematian ibu dan tingkat kelahiran remaja yang lebih rendah di ASEAN. Pada dimensi lain, Vietnam cenderung lebih unggul dibandingkan Thailand khususnya dimensi pemberdayaan pada indikator persentase penduduk dengan pendidikan minimal menengah yang lebih besar baik laki-laki maupun perempuan.
Timor Leste sebagai negara baru di ASEAN memiliki ketimpangan gender yang baik dengan posisi berada setelah Thailand. Kinerja yang baik ini tidak terlepas dari kontribusi dimensi pemberdayaan di mana proporsi perempuan dalam parlemen Timor Leste menjadi yang terbesar di ASEAN yaitu 38,462 persen serta pada dimensi pasar tenaga kerja. Selain itu, ada hal lain yang membuat GII Timor Leste juga perlu menjadi perhatian yaitu pada indikator penduduk dengan pendidikan minimal menengah yang masih di bawah 50 persen.
Sementara itu, GII Indonesia berada di posisi ke-8 dari negara-negara ASEAN. Kinerja dimensi kesehatan reproduksi remaja pada indikator tingkat kelahiran remaja memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan Vietnam namun angka kematian ibu di Indonesia hampir empat kali lipat lebih besar dibandingkan dengan Vietnam. Filipina berada di posisi ketujuh dengan indikator angka kematian ibu yang lebih rendah juga dari Indonesia.