HARAP – HARAP CEMAS UNDANG-UNDANG DESA
Dengan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2004 tentang Desa pada tanggal 15 Januari 2014, membawa harapan-harapan baru bagi kehidupan kemasyarakatan dan pemerintahan yang ada di desa. Harapan akan adanya pengakuan atas hak-hak asal usul desa, hak tradisional, serta pengakuan terhadap otonomi desa yang asli.
Inilah evolusi ke sembilan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang desa. Dalam sejarah pengaturan desa, telah ditetapkan beberapa kali pengaturan desa, yaitu undang-undang 22 tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-undang 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 19 tahun 1965 tentang Desa praja sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, kemudian Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan secara khusus Desa di atur dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014.
Sejarah yang panjang untuk menempatkan (kembali) posisi desa sebagai suatu daerah yang memiliki sifat istimewa, heterogen, serta kejelasan status serta kepastian hukumnya dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Menempatkan desa bukan lagi sebatas sebagai obyek, tetapi sekaligus sebagai subjek dalam pembangunan.
HARAPAN
Dalam 122 pasal dalam undang-undang ini, terhampar harapan akan adanya perubahan yang jauh lebih baik terhadap kehidupan kemasyarakatan, pembangunan dan pemberdayaan, serta pemerintahan desa. Apa saja ?
Selain menerima anggaran yang selama ini telah ada, dengan pemberlakuan undang-undang ini desa akan menerima alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang besarnya cukup fantastis dan bervariasi. Fantastis karena nilai nya mendekati angka satu milyar rupiah per desa ( bahkan bisa lebih) yang bervariasi sesuai dengan kondisi desa. Nilai yang berlipat jika dibandingkan dengan dana ADD yang selama ini diterima oleh desa yang berkisar di angka puluhan sampai dengan ratusan juta rupiah. Sedangkan pendapatan dari sumber lain seperti bagi hasil pajak dan retribusi daerah, serta bantuan keuangan dari pemerintah kabupaten, provinsi, atau pun pusat yang (bisa dikatakan) tidak menentu.
Dengan tambahan dana tersebut, saya yakin pemerintah desa akan semakin mampu dalam membangun serta memberdayakan masyarakat desa. Tinggal bagaimana kemampuan dan kemauan Sumber Daya Manusianya.
Harapan lain muncul dalam bentuk perbaikan kesejahteraan bagi pemerintah desa. baik itu kepala desa maupun perangkat desa, dimana penghasilan kepala desa dan perangkat desa akan dibiayai dari dana perimbangan APBN yang diterima Kab/Kota, yang selama ini penghasilan tetap kepala desa dan perangkat tergantung kemampuan APBdesa. Belum lagi adanya jaminan kesehatan beserta penghasilan yang lain. Semoga penghasilan tersebut semakin bernading lurus dengan profesionalisme pemerintah desa.
Dengan adanya pendapatan desa yang semakin besar, serta pengakuan terhadap hak-hak adat dan asal-usul yang semakin jelas, undang-undang ini juga mengakomodir proses perubahan kelurahan “kembali” menjadi desa. proses yang selama ini belum pernah diatur dalam aturan-aturan sebelumnya. Proses yang memungkinkan suatu “wilayah” mendapatkan lagi hak-hak asal-usul dan tradisonalnya yang selama ini mendapat perlakuan yang sama.
CEMAS
Disisi lain, harapan-harapan tersebut meninggalkan rasa cemas terhadap pelaksanaannya. Kekhawatiran terbesar ialah tentang kemapuan pengelolaan dan pertangungjawaban pemanfaatan dana APBDesa. Dengan pendapatan desa yang berlipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, masih tersirat kekhawatiran mengenai kemampuan pemerintah desa dalam mengelola APBdesa secara bertanggung jawab. Pengelolaan keuangan yang masih dikelola secara”tradisional” di beberapa daerah, sangat rentan terhadap adanya penyimpangan-penyimpangan. Hal yang kita semua tidak inginkan. Semoga segera Pemerintah, Pemerintah Provisi, maupun Kab/Kota mulai berpikir tentang bagaimana “mentransfer” kemampuan pengelolaan keuangan, kemampuan manajerial lain, kepada pemerintah desa.
Kekhawatiran muncul terkait dengan wacana “pemindahan” perangkat desa yang bestatus PNS. Semoga pemindahan tersebut bukan karena alasan perbedaan status atau sejenisnya, atau alasan-alasan lain yang tak profesional. Tetapi memang karena alasan-alasan rasional demi lebih baiknya pelaksanaan pemerintahan di desa. atau memang karena setelah dievaluasi, kebijakan pengangkatan ataupun penempatan Sekdes PNS di desa adalah hal yang tak efektif dan tidak tepat. Entahlah, Anda mungkin tahu kenapa? Karena sejauh yang saya tahu, di beberapa daerah, Sekdes PNS menjadi tumpuan dalam pelasanaan kegiatan administrasi pemerintahan desa. dan hasilnya cukup baik, menurut saya.
Dag-dig-dug masih berlanjut, menanti setidaknya sebelas (dalam hitungan saya) Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan undang - undang ini dalam waktu maksimal dua tahun ke depan, belum lagi permendagrinya, perdanya, perbupnya.......
Terasa seperti pertama kali jatuh cinta bagi sebagian orang, sebagian yang lain tak merasa apa-apa...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H