Bukanlah hal yang sulit jika sudah terbiasa berobat menggunakan BPJS dan mengetahui prosedur dan aturan yang berlaku di rumah sakit. Namun sebaliknya bagi pasien baru yang menggunakan BPJS sering kali tidak sabar mengantri, ingin didahulukan, atau kalau lama antriannya suka marah-marah dan sasarannya adalah karyawan atau petugas rumah sakit. Saya kadang merasa miris juga melihat petugas rumah sakit yang kena marah karena pelayanan yang lama. Tergelitik pertanyaan “Mengapa pemandangan seperti itu sering terjadi”? Mungkin sudah saatnya diteliti, kecenderungan munculnya istilah atau “penyakit baru” apa yang disebut dengan “BPJS Syndrom” yang pada kenyataan sehari-hari belakangan ini makin marak terjadi.
Apa sebenarnya BPJS Syndrome ini? Sebagaimana halnya dalam mendiagnosis suatu penyakit tentu dimulai dengan mengetahui gejala umum dan mancari causanya, maka demikian pula dengan BPJS syndrome ini dapat diketahui dari gejala-gejalanya yaitu :
- Gampang tersinggung, merasa diperlakukan seperti pengemis berobat tidak membayar langsung karena menggunakan BPJS
- Merasa dianaktirikan / tidak diladeni petugas RS karena berobat pakai BPJS
- Merasa tidak diistimewakan oleh petugas karena bukan pasien bayar cash.
- Mudah berprasangka jelek terhadap pelayanan medis yang diberikan di fasilitas kesehatan baik tingkat pertama maupun lanjutan.
- Kecurigaan akan dilakukan tindakan yang substandar terhadap dirinya oleh karena merasa jika menangani pasien BPJS tenaga medis dibayar dengan jasa medis yang kecil.
- Mudah sensitif dan tetap komplain walaupun petugas sudah menjelaskan prosedur yang seharusnya dilakukan.
- Bahkan jika harus mengantri saja akan dikeluhkan dan dimuat di media sosial dan menganggap prosedur BPJS sangat ribet
Apa penyebab utama BPJS syndrome ini? Tidak lain adalah pasien peserta BPJS yang kurang memahami bahkan belum tau prosedur sebenarnya dan peraturan yang berlaku, dan juga karena sosialisasi BPJS yang dirasakan masih minim dan belum menyentuh lini terbawah, user yang termasuk di dalamnya adalah masyarakat pekerja penerima upah. Merasa menganggap telah memenuhi kewajiban membaya premi tiap bulan, sehingga merasa tidak puas jika diperlakukan seadanya.
Ketidakpuasan terhadap pelayanan tersebut umumnya justru bukan terkait dengan pengelola BPJS nya, tatapi rasa sensitif karena menggunakan BPJS nya, suatu contoh, jika pasien memerlukan ruang NICU/PICU, tidak semua RS mempunyai fasilitas ruang dan sarana NICU/PICU. Hanya saja setelah diberlakukannya BPJS berita yang muncul di media adalah pasien dipersulit mendapatkan ruang NICU/PICU atau karena tidak ditanggung BPJS,dan masih banyak lagi contoh lainnya.
Bagi masyarakat yang belum mengetahui tentang prosedur BPJS untuk berobat rawat jalan di RS, memang akan beranggapan bahwa lelah dan lamanya mengantri merupakan kerumitan sistem, padahal yang sebenarnya harus dijalani adalah prosedur atau langkah-langkah misalnya pasien pertama kali harus ke loket pendaftaran A, kemudian ke B, C dan seterusnya yang cukup sederhana. Dan perlu diingat bahwa adanya antrian lama diantara langkah-langkah tersebut lebih kepada adanya konsekuensi dari banyaknya pasien versus terbatasnya SDM di rumah sakit. Sebenarnya untuk mengantri ini tidak hanya terjadi di RS provider BPJS tetapi di RS swasta pun jika saat itu banyak pasien yang berobat akan tetap mengantri. Ini menjadi tantangan pihak SDM / manajemen RS untuk melakukan terobosan-terobosan baru dalam mempercepat proses pelayanan. Sementara bagi peserta BPJS dapat menyikapi secara positif pula jika harus mengantri lama nikmatilah masa pengantrian, banyak hal yang dapat dilakukan, seperti membaca, browsing internet, silaturrahim via chatting, FB, atau sharing pengalaman dengan pasien lain.
Demikian pula halnya jika ada komplain terhadap pelayanan yang diberikan oleh dokter yang cukup beragam, ada yang menganggap puas ada pula yang tidak puas. Jika merasa belum puas tehadap pelayanan dokter yang memeriksa saat itu, masalah ini dapat diselesaikan dengan meminta second opinion pada dokter lain. Bahkan jika perlu peserta dapat berpindah tempat pada fasilitas pelayanan kesehatan dasar (I) yang lain.
Bagaimana terapi BPJS Syndrom ini? Berpulang pada peserta BPJS sendiri. Tips yang dirasa efektif agar terhindar dari BPJS Syndrome antara lain adalah :
- Banyak membaca/ mencari tau informasi tentang aturan BPJS kesehatan
- Ikuti prosedur yang berlaku di setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang dikunjungi untuk berobat.
- Sabar dan banyak bertanya bila ada menjumpai hal yang belum diketahui/kurang paham.
- Berprasangka baik/husnudzon, tidak menghakimi terhadap hal yang belum dipahami. Karena ratusan orang tiap hari berobat di fasyankes seluruh Indonesia. Kalau pelayanan di puskesmas maupun rumah sakit semuanya dinilai tidak baik /kurang memuaskan, maka sudah tentu akan jadi “Heboh Nasional”. Namun kenyataannya tidak demikian, sebagian besar pelayanan yang diberikan sudah cukup memadai. Tentu saja masih ada keluhan dan ketidakpuasan, belum dapat ditekan hingga 0 %. Hal ini bukan berarti tidak diperkenankan untuk komplain, bahkan komplain juga diperlukan untuk evaluasi dan meningkatkan kualitas pelayanan dan SDM di fasyankes agar dapat memberikan layanan yang lebih baik.
Mari kita benahi bersama agar lebih baik lagi, singkirkan BPJS Syndrome dari diri kita menuju terwujudnya kesuksesan SJSN yang digawangi BPJS. Tetap semangat!!!
(Saprina Maryani- S2 KARS FKM UI)