Mohon tunggu...
Sosbud

”Sang Bidadari” Pegawai Negeri Sipil - Antara Cibiran dan Impian

1 Juni 2015   00:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:25 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Walaupun kerap kali mendapatkan kritikan, sindiran, cibiran bahkan cacian, bidadari yang bernama PNS masih tetap terus diburu oleh banyak para pencari kerja. Entah mengapa meskipun ditengah maraknya teknologi informatika sebagian orang masih bercita-cita menjadi PNS setelah selesai menempuh pendidikan di perguruan tinggi dan bergelar sarjana maupun yang menempuh pendidikan profesi. Bahkan yang sudah bekerja di swasta pun masih tetap mengincarnya walaupun disinyaloir gaji PNS dianggap hanya dapat menutupi kebutuhan pokok. Begitu mendapatkan informasi seputar penerimaan CPNS, sontak orang berbondong-bondong menyiapkan segala persyaratan untuk bisa mendapatkan “sang bidadari” sesuai formasinya. Lulusan sarjana semua bidang dengan sigap bergerak, tak terkecuali para dokter umum yang pada jaman kami harus menjalani masa bakti sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) dan selepas itu bebas memilih mandiri atau bekerja dirumah sakit, perusahaan atau instansi pemerintah. Susah susah gampang memang untuk mendapatkannya terlebih lagi untuk orang daerah seperti kami yang berstatus pasca PTT, harus berhijrah ke ibu kota karena memenuhi kewajiban diboyong suami agar tetap selalu berdampingan hidup bersama dalam suka dan duka (ceileeeeh......). Ibarat kata untuk memasuki instansi swasta saja yang berkiprah di bidang pelayanan kesehatan (sebut saja klinik swasta atau RS swasta) ternyata tidak mudah bagi kami orang daerah...tak punya koneksi atau kenalan...terlebih lagi sanak saudara. Apalagi untuk menjadi PNS di tempat bukan tanah kelahiran sendiri dan bukan asal almamater? Yang notabene harus melalui jalur KKN? “ Titip menitip” atau “suap menyuap” yang selalu ramai menjadi topik pembicaraan tiap kali terbuka kesempatan.

Hanya ada satu cara untuk mencari tau apakah yang dibilang seperti itu memang demikian adanya...semua itu akan terjawab dengan mencoba dan mengalami sendiri. Tetap dicoba, awalnya yang dituju RS swasta, berkas kelengkapan lamaran pun segera dikirim ditujukan ke meja manejer HRD, sekitar 2 minggu kemudian dipanggil untuk menjalani tes, sampai melalui tahap wawancara, tak banyak yang ditanyakan, dan wawancarapun lantas terhenti setelah sampai pada pertanyaan lulusan mana???....setelah itu si manajer mengakhirinya dengan mengatakan bahwa mereka akan menghubungi kembali beberapa hari kedepan, ditunggu saja, dan alhasil berkas lamaran yang dikirim pun hanya manambah tumpukan kertas di atas meja manajer HRD....hati kecil pun berkata apakah tertutup kesempatan bagi kami dari daerah untuk bisa bergabung di RS swasta di kota-kota besar pulau jawa seperti ibukota? Apakah lulusan dari daerah seolah dianggap tidak mampu bersiang di ibukota? Hmmm..tunggu dulu...suatu saat akan indah pada waktunya. Terbetik dalam hati apakah memang seperti anggapan orang kalau ”ibu tiri tak sekejam ibu kota”?, pertanyaan muncul lagi...bagaimana bisa untuk menjadi PNS? Sungguh jauuuh rasanya. It’s so hard to us. Kala itu tahun 2007 Pemda DKI Jakarta hanya mengangkat tenaga honor daerah sebagai CPNS yang sudah banyak mengantri menunggu giliran. Semakin kecil rasanya untuk mendapatkan kesempatan itu. Teruuuuus mencoba yang lain...kali ini instansi pemerintah pusat. Bisa ga yaaa? Singkat cerita lamaranpun segera disiapkan dan dikirim yang saat itu sudah menggunakan sistem online yang katanya untuk menghindari praktek KKN dan sejenisnya...semua persyaratan dipenuhi sesuai prosedur, diupload dan berkas dikirim melalui pos...Cuma modal pulsa dan prangko, tak sekalipun pernah bertemu dengan panitia penerimaan CPNS pusat. Tidak terlalu berminat sebenarnya dan tak banyak berharap hanya ingin mencoba karena ingin menghargai jerih payah orang tua yang sudah menyekolahkan, dan ingin tau apakah ijasah lulusan daerah ini bisa dijajal di level pusat ?

Masa pengumuman pun tiba via online pula melalui akun masing-masing, tak disangka dan dinyana hanya bermodalkan pulsa untuk internet dan prangko kilat khusus serta bersenjatakan doa tentunya “sang bidadari” itu pun akhirnya datang menghampiri. Suatu anugrah kedua dalam hidup ini setelah menikah mendapatkan suami dan anak-anak yang menjadi penyemangat untuk terus berkarya dan bertahan di ibu kota. Terjawablah sudah pertanyaan yang selama ini ada dibenak dan menepis anggapan negatif sebagian orang. Rasa syukur pada Yang Maha Memberi pun selalu mengalir tak henti hentinya, terlebih lagi di era reformasi sistem di pemerintahan mulai dibenahi. Setiap kali orang tau status kita, akan terlontar pertanyaan “Berapa duit modal untuk jadi PNS, atau “ngasih berapa?” atau “siapa yang memasukan?” Aaahhhh...sebel juga rasanya setiap kali ditanya seperti itu. Perjalanan tak hanya cukup sampai disini, panggilan untuk registrasi pun akhirnya datang. Itu artinya gelar CPNS sudah ditangan, dan mau tidak mau akan menjalani dengan segala konsekuensinya. Menyadari bahwa dengan tugasnya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, maka PNS sangat potensial terbangun citranya karena berinteraksi secara langsung kepada masyarakat luas, sedemikian rupa hingga dapat menjadi sasaran setiap mata yang melihatnya dan setiap mulut akan membicaraknnya, bahkan sikap dan tindakannya akan menuai reaksi positif maupun negatif, tergantung dari sifat pelayanan yang mereka berikan. Kesabaran, kelapangan hati dan juga introspeksi diri menjadi tuntutan wajib bagi PNS ketika kekeliruan yang diperbuatnya sekecil apapun akan menjadi besar di ‘mulut’ masyarakat, dan di sisi lain, pelayanan yang diberikan setulus hati pun akan sangat mudah dilupakan. Tarik ulur antara cibiran dan pujian (jika ada) mengaburkan sosoknya dari realitas diri PNS. Ada apa dengan sosok semu itu?

Citra negatif terlanjur melekat padanya, yang dalam teori disebut sebagai suatu bentuk kesalahan berpikir yang berawal dari kecenderungan orang untuk melakukan “over-generalization” yaitu penggunaan satu-dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat umum. Kesalahan berfikir seperti inilah yang nampaknya mendukung terbangunnya citra negatif tersebut. Bahwa PNS dipilih dan diangkat melalui jalur KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), oportunis, memanfaatkan posisi untuk meraup pendapatan liar sehingga dengan gaji kecilnya sanggup meraih kekayaan fantastis Image tidak memilki batas tegas dalam penggunaan waktu, lebih banyak nongkrong, baca koran, main facebook, catur bahkan ngerumpi di tempat kerja. Split personality atau pribadi terbelah, tidak memiliki integritas moral dapat terjadi karena PNS merupakan out put pendidikan yang membinanya ke arah tersebut. Seperti diketahui bahwa paradigma keilmuan yang dianut secara tak sadar dalam system pendidikan kita sangat sekularistik. Ilmu, seni, moral, dan agama dalam system ini adalah sesuatu yang berjalan dalam relnya dan menuju stasiun masing-masing.
Kinerja pegawai pun juga menjadi salah satu indikator yang turut memberikan andil pada pencitraan PNS. Alasan kecilnya gaji mungkin sangat klasik, sifat materialistik dengan legalitas tuntutan kebutuhan hidup yang menjadi patron semangatnya secara linear untuk bekerja. Pengawasan yang longgar menjadi lahan subur untuk menerapkan ‘kebijakan yang tidak bijak’. Melayani masyarakat setengah hati dengan system birokrasi yang panjang dan berliku-liku.

Sekali lagi, kesalahan berfikir menyebabkan citra negatif tersebut seolah berlaku umum kepada semua PNS. Fakta sesungguhnya, bahwa tidak semua PNS itu produk KKN dan atau yang berkaitan dengan praktisi KKN. Walaupun mungkin terbilang belum banyak namun ada juga yang bersih, berwibawa, professional, bertanggung jawab dan memiliki integritas pribadi yang tangguh. Tetapi mereka yang seperti ini justru jarang muncul ke permukaan. Mengapa demikian? Apakah dari segi kuantitas, mereka itu sangat sedikit? Bisa jadi. Dan untuk membedakannya juga tidak mudah. Diibaratkan permata yang kilauan cahayanya tertutup oleh debu.
Di tengah bayangan citra diri PNS yang seakan mengorbit di lintasan partikel bermuatan negatif, gaya tarik partikel bermuatan positif pada intinya masih memberikan pengaruh yang sangat besar kepada pembentukan molekul-molekul baru sehingga ketika terdapat peluang untuk bergabung dalam komunitas ini dalam bentuk lowongan pekerjaan untuk menjadi PNS, maka dapat dipastikan bahwa antrean pelamar akan jauh melebihi kuota yang akan diterima. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan sebagai PNS masih sangat diminati masyarakat pada umumnya dan masih menjadi harapan besar untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Bekerja untuk Ibadah, Itu Berpahala.
Citra negatif yang disandang PNS tidak dapat digeneralisasikan mengingat adanya sejumlah atau segelintir dari mereka hanyalah korban lingkungan sekitarnya. Ilustrasi diatas semoga dapat menepis anggapan negatif tersebut. Dosa sebagian orang harus ditanggung bersama sungguh menjadi kenyataan yang dirasa kurang adil. Kini ada suatu pertanyaan yang sewajarnya muncul dalam benak kita, baik dalam posisi kita sebagai PNS yang hanya terkena imbasnya atau turut berperan aktif dalam pencitraan tersebut, maupun bagi masyarakat secara umum : “Maukah kita memperbaiki citra PNS tersebut dengan memindahkan kutubnya dari negatif ke positif ?” Dari nurani semua orang tahu dan sepakat akan jawaban pertanyaan tersebut. Masalah selanjutnya adalah “Bagaimana kita memperbaikinya?” Untuk suatu perbaikan, yang dibutuhkan bukan saja ide atau gagasan baru, tetapi semangat dan kesadaran baru. Sebagai langkah awalnya berupa kesadaran tentang realitas yang ada. Di sekitar kita terdapat banyak masalah tetapi terkadang kita tidak menyadari bahwa hal tersebut adalah masalah yang patut dipermasalahkan. Seperti halnya contoh yang disebutkan di atas, sebagian kita mungkin sudah cukup tenang dengan menerima keadaannya sebagai sesuatu yang lumrah. Dengan membuat argumen bahwa PNS wajar menerima hujatan atas citra buruknya karena memang demikian kenyataan yang ada. Kepasrahan seperti ini tidak dapat ‘dibiarkan’ karena masalah yang sebenarnya bukan ketidaksesuaian antara fakta dan cerita atau tuduhan tanpa bukti. Yang kita inginkan adalah adanya perubahan persepsi yang tentunya didahului dengan perbaikan kondisi sebelumnya dengan fakta yang berjalan sehingga persepsi yang keliru dapat diluruskan dan kondisi yang salah dapat dibenarkan (diperbaiki).

Terkadang kita menyaksikan adanya suatu masalah tetapi tidak tergerak untuk mengupayakan penyelesaiannya. Solusi bukanlah hanya dicari melainkan untuk didapakan. Membiarkan masalah pribadi berlarut-larut tanpa usaha sungguh-sungguh untuk menyelesaikannya merupakan awal dari ketidakpekaan nurani terhadap masalah yang ada di sekitar kita. Sifat egosentris misalnya merupakan ketidakpedulian terhadap diri sendiri karena mengabaikan fitrah diri sebagai makhluk berkesadaran sosial. Luruskan niat jadikan bekerja adalah ladang untuk beramal dan ibadah. Karena gaji yang diterima PNS saat ini mungkin belum sesuai yang diharapkan, namun jika dilakukan dengan ikhlas, tulus, semata mata ingin mendapatkan ridho-Nya, maka selain mendapatkan pahala, setidaknya akan mampu menepis penggeneralisasian anggapan negatif selama ini. Pembenahan dan perbaikan tata kelola dan segala sistem birokrasi di pemerintahan pusat utamanya yang berkaitan dengan peningkatan kualitas SDM, perangkat kerja, kejelasan tupoksi dan gaji yang memadai tentunya akan terus menjadi hal yang selalu diharapkan. Pun juga di instansi swasta. Menjadi bagian aparatur negeri ini masih menjadi Impian....Bravo...sang bidadari !!!!!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun