Mohon tunggu...
Sapri Pamulu
Sapri Pamulu Mohon Tunggu... profesional -

Ngeblog untuk belajar menulis dan berbagi. Peneliti paradigma strategi tentang kapabilitas dinamis yang menentukan keunggulan bersaing dan kinerja organisasi di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rangkap Jabatan SBY, Lain Doeloe Lain Sekarang?

11 Januari 2010   02:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:31 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
RUMGAPRES/ABROR RIZKI

Terpilihnya Hatta Radjasa (HR) tampaknya menjadi pemicu ulang munculnya perdebatan tentang jabatan rangkap antara jabatan menteri dan ketua partai politik. Jika Surya Dharma Ali dan Muhaimin Iskandar menjadi menteri setelah menjabat ketum parpol (PPP/PKB), maka HR memang sudah menteri sebelum terpilih menjadi ketum PAN, partai yang identik dengan Amien Rais, sang reformis.  Amien Rais juga pernah berniat mundur dari jabatannya dari ketum PAN setelah terpilih sebagai Ketua MPR pada tahun 1999. Konon, niat itu akan dijadikan pembelajaran politik dalam iklim demokrasi yang reformis, tapi niat Amin ini justru direspon negatif oleh mayoritas peserta Kongres I PAN tahun 2000 sehingga tak pelak Amin pun jadi mesti merangkap jabatan Ketua MPR dan Ketua Umum PAN sampai 2005. Kisah yang berbeda dengan Hidayat Nur Wahid (HNW) ketika pada posisi yang sama, HNW memilih mundur dari Presiden PKS ketika terpilih menjadi Ketua MPR, dan tradisi ini menjadi terwariskan hingga kini, Tifatul Sembiring pun menanggalkan jabatannya di PKS, beberapa waktu setelah dipercaya presiden SBY menjadi menteri.PKS tak ingin menteri rangkap jabatan, demikian dilaporkan KOMPAS (29/07/2009). Perdebatan jabatan rangkap ini pun memang tak pernah berhenti sejak gendang "orde reformasi" ditabuh. Pangkal perdebatan itu berujung pada konflik kepentingan yang mungkin terjadi, dimana oleh sebagian pihak, rangkap jabatan bukan soal rumit yang mesti dipersoalkan. Alasannya, jika dua tugas jabatan yang berbeda itu bisa dilakoni dengan baik, maka jabatan rangkap ini bukanlah merupakan persoalan penting. Sementara sebaliknya, terdapat pihak yang menganggap bahwa rangkapan ini rentan terhadap konflik kepentingan dan ketidakfokusan.  Justru, Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat Achmad Mubarok, Kompas (13/07/2009), pernah mengindikasikan bahwa jika menteri yang akan dipilih oleh Presiden SBY jika ia berasal dari partai politik maka yang bersangkutan tidak boleh merangkap jabatannya juga sebagai ketum parpol karena dianggap akan mengganggu konsentrasi bekerja. Yang lebih menarik dalam soal rangkap jabatan ini adalah sikap SBY itu sendiri. Kompas beberapa memberitakan sikap presiden SBY yang diktuip berdasarkan keterangan Hatta Radjasa. Kini, Presiden SBY tidak melarang para menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II merangkap jabatan sebagai ketua umum partai politik. Hal ini disampaikan oleh Hatta kepada para wartawan, Kamis (Kompas, 22/10/2009) di depan Istana Negara seusai pelantikan KIB II. "Presiden mengatakan, yang penting tahu loyalitas dan konsentrasi kerja untuk kepentingan bangsa dan negara," ujar Hatta. Dalam berita lainnya Loyalitas kepada Partai Berakhir Sudah, Hatta menjamin menteri-menteri yang tergabung dalam KIB II tidak akan terlibat konflik kepentingan. Pasalnya, sebelum dilantik, para menteri telah menandatangani pakta integritas untuk tidak menggunakan jabatannya demi kepentingan partai politik. Menurut Hatta, Presiden SBY mengatakan My loyality to the party end, when the loyality to the state begin untuk menegaskan bahwa tidak boleh ada satu agenda pun untuk kepentingan partai. Jika benar yang disampaikan Hatta itu, maka dapat dikatakan merupakan suatu hal atau sikap yang berbeda ketika SBY masih menjabat menteri pada era pemerintahan Megawati Soekarno Putri. Ketika itu, Partai Demokrat sedang dibidani kelahirannya, Sejatinya SBY digadang-gadang untuk memimpin partai yang digagasnya itu, tapi lantas menolak karena masih menjabat Menko Polkam, sehingga jabatan ketum partai akhirnya diserahkan kepada Subur Budhisantoso. "Pak SBY tidak ingin ada rangkap jabatan," kata Budhisantoso (Tempo, 14/10/2004).  Tempo juga mengutip biografi SBY yang menegaskan soal rangkap jabatan ini.  SBY tidak ingin terjadi konflik kepentingan saat menjadi menteri dan menjadi ketua umum partai politik. Apalagi, katanya, dua jabatan itu sama-sama membutuhkan konsentrasi dan pikiran. "Rasanya kurang etis jika dua jabatan berada dalam satu tangan," kata SBY. Rupanya, Lain doeloe lain sekarang! Dari kisah sikap SBY terkini diatas, maka rangkap jabatan sudah bukan merupakan persoalan penting yang mesti diributkan. Toh, Presiden SBY akan mengevaluasi kinerja para menteri yang berpasal dari Parpol anggota koalisi, dan terlebih lagi Mahkamah Konstitusi akan segera mengetok palu yang akan mengakhiri perdebatan perlu tidaknya jabatan rangkap yang dipersoalkan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun