Komunikasi merupakan sesuatu hal yang sangat penting dalam melakukan interaksi sosial. Dalam melakukan komunikasi, kita seringkali dihadapkan dalam situasi dimana terdapat perbedaan persepsi mengenai suatu kata. Ada kata yang sebenarnya memiliki arti positif, malah sebagian orang menganggap sebagai konotasi negatif. Begitupun sebaliknya, kata yang memiliki arti negatif malah berkonotasi positif bagi orang lain. Hal ini merupakan suatu hal yang lumrah, dikarenakan selain perbedaan persepsi antar masing-masing orang, norma budaya juga memiliki peran penting. Sebagai makhluk sosial, kita tidak bisa dipisahkan dengan adanya berbagai aktivitas sosial termasuk dalam hal berinteraksi. Hidup di negara yang memiliki beranekaragam budaya, tentunya hal ini juga merupakan salah satu faktor pemicu adanya perbedaan persepsi mengenai suatu kata. Di Indonesia banyak sekali anekaragam budaya dan bahasa daerah, sehingga makna kata di masing-masing daerah juga memiliki arti yang berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa “setiap individu memaknai kata dan frasa berdasarkan konteks budaya yang mereka anut” (Kamaluddin, 2013). Sehingga sebuah kata yang dianggap netral di suatu budaya bisa saja memiliki konotasi negatif di budaya lain. Hal ini bisa terlihat dalam penggunaan kata “gendut”. Di sebuah daerah kata tersebut biasa diartikan sebagai candaan, namun di daerah lain bisa diartikan sebagai penghinaan terhadap seseorang dengan maksud tubuh yang tidak ideal. Dalam hal perbedaan persepsi antar individu, juga sering menimbulkan perbedaan pemahaman dari suatu kata. Contohnya adalah pada kata “sederhana”. Seseorang bisa saja memiliki persepsi mengenai maksud dari kata sederhana ini adalah sebagai sebuah keanggunan atau menggambarkan kesederhanaan seseorang. Sebaliknya, orang lain bisa saja memiliki makna lain dari kata sederhana ini dengan makna kekurangan finansial. Hal ini sesuai dengan konsep teori mengenai persepsi bahwa persepsi setiap orang terhadap pesan sangat dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, latar belakang pendidikan, dan lingkungan sosialnya (Rakhmat, 2007). Hal ini bisa disimpulkan bahwa pemahaman makna mengenai suatu kata bisa berbeda-beda dikarenakan perbedaan persepsi seseorang dan perbedaan budaya dari masing-masing daerah. Sehingga dengan adanya perbedaan ini, bisa memungkinkan kita untuk berhati-hati dalam berkata-kata.
Manusia sebagai makhluk sosial harus bisa berhati-hati dalam berkomunikasi. Komunikasi yang baik dapat membangun hubungan interpersonal yang baik antar individu. Sebaliknya, komunikasi yang tidak bagus, akan menyebabkan renggangnya hubungan sosial. Banyak penyakit kesehatan mental juga disebabkan oleh komunikasi yang tidak sehat. Dalam berkomunikasi, seringkali kita menemukan kata yang memiliki makna berupa penghinaan atau ancaman, namun tersampaikan dengan cara yang begitu tersamar sehingga sulit dijerat oleh hukum atau aturan sosial sebagai bentuk kebencian atau ancaman. Hal ini bisa terjadi karena penggunaan kata-kata yang terdengar netral namun mengandung makna ganda atau tersirat. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa bahasa yang ambigu dan bermakna ganda dapat menyembunyikan niat asli pembicara, terutama jika disampaikan dalam situasi yang memungkinkan penafsiran yang beragam (Eriyanto, 2001). Contohnya, pada penggunaan kata atau teks dalam sebuah diskusi atau debat berupa “mari kita lihat saja nanti siapa yang bertahan”. Satu sisi teks ini bisa saja dimaknai sebagai ancaman terselubung, tetapi karena tidak ada kata-kata eksplisit yang merujuk pada kekerasan atau bahaya, sulit untuk membuktikan bahwa pernyataan ini benar-benar bertujuan untuk menebar ancaman. Selain itu, penggunaan kata berupa bahasa halus atau sindiran juga merupakan bagian dari salah satu faktor yang memungkinkan ada unsur penghinaan namun terbebaskan. Contoh penggunaan dalam sebuah teks “semoga negara kita bisa memiliki pemimpin yang lebih baik dan berwibawa di masa depan”. Satu sisi teks ini memiliki makna sebagai sebuah pengharapan dari seseorang akan sosok pemimpin idealnya. Namun, disisi lain, makna dari teks ini bisa dimaknakan sebagai sebuah penghinaan dari sosok pemimpinnya saat ini. Karena penggunaan teks ini tidak menyebutkan nama atau aspek negatif secara langsung, pernyataan ini sulit dikategorikan sebagai penghinaan atau ujaran kebencian, walaupun sebenarnya mengandung kritik keras terhadap situasi yang ada. Hal ini sesuai dengan teori bahwa bahasa politik dan sosial sering kali berisi kritik atau sindiran halus yang ditujukan kepada pihak tertentu, tetapi disampaikan dengan bahasa yang netral agar tidak tampak sebagai serangan langsung (Burhan, 2008). Hal ini bisa disimpulkan bahwa sebagai makhluk sosial kita harus memperhatikan betul pemilihan kata yang digunakan dalam berkomunikasi, sehingga apa yang kita sampaikan tidak mengandung kalimat berupa ancaman atau ujaran kebencian.
Referensi :
Bungin, Burhan. 2008. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.
Kamaluddin, La Ode M. 2013. Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Rajawali Pers.
Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI