Kelompok tokoh agama yang telah mengambil kesepakatan dalam mengungkap 18 kebohongan pemerintah, membuat banyak orang menjadi komentator, baik komentar yang sependapat dengan ungkapan kebohongan tersebut, ataupun yang menolak karena menganggap pemerintah tidak berbohong, dan sebagian menolak sebagai kritikan atas ketidak pantasan sebagai tokoh agama mengungkap kebohongan dengan begitu vulgar, seakan mengenyampingkan aspek etika yang semestinya menjadi pegangan para tokoh agama.
Demikian juga, pemerintah merasa kebakaran jenggot, dengan terbongkarnya kebohongan yang dilakukan oleh Pemerintahan SBY, sehingga SBY melakukan klarifikasi dengan mengundang para tokoh agama dalam kepentingan itu. Sebenarnya apapun yang dilakukan pemerintah, tidak banyak memberikan pencerahan kepada publik, untuk tidak mengatakan Pemerintah SBY berbohong, karena 18 kebohongan itu sudah terlanjur terbuka secara lebar.
Klarifikasi yang dilakukan pemerintah, juga menimbulkan opini yang kontroversial, ada yang mengatakan bahwa cukup penting pemerintah melakukan klarifikasi agar mereka dapat menunjukkan kepada publik bahwa Pemerintah SBY tidak bohong, sehingga timbul bahasa “Aku yang bohong (Pemerintah) atau dia (Tokoh Agama)”. Akan tetapi sebagian yang lain, mengatakan bahwa sikap pemerintah yang kebakaran jenggot, sehingga harus klarifikasi sana-sini, semakin jelas menunjukkan bahwa Pemerintah SBY benar-benar berbohong, publik beranggapan bahwa dengan klarifikasi yang dilakukan Pak SBY dalam upaya pencitraan.
Terlepas dari opini miring terhadap Presiden, ataupun yang mendukung terhadap pemerintah SBY, ketika kita cermati masih ada hikmah yang dapat diambil dari pemikiran pro dan kontra antara pemerintah dan tokoh agama tersebut.
Introspeksi
Pemerintah SBY dapat mengambil tamtsil dalam kasus ini, serta dapat membangun kesadaran bahwa masih banyak titik-titik pembangunan yangbelum disentuh oleh pemerintah, terutama dalam upaya untuk meningkatkan kesejahtraan masyarakat miskin.
Penegakan supremasi hukum belum sepenuhnya dapat dilaksanakan, masih terjadi tebang pilih. Contoh kasus Gayus Halomoan Tambunan yang kelihatan masih seperti lelucon, bagaimana bisa terjadi seorang yang terdakwah kasus milyartan rupiah dan berada dalam ruang tahanan bisa ngelencer kemana-kemana. Kemudian setelah mendapatkan putusan dari PN Jaksel Hakim memutuskan 7 tahun penjara dengan denda 300 juta subsider tiga bulan kurungan, dengan tuduhan 4 perkara korupsi. Ketika dibanding dengan seorang pencuri ayam di kampung yang harganya 25 ribu, harus menerima hukuman 1 tahun penjara. Wah sangat lucu.
Termasuk juga 18 kebohongan lainnya yang diungkap oleh tokoh agama itu, perlu dievaluasi lebih mendalam, sudahkan pemerintah melaksanakan 18 hal yang dianggap kebohongan itu ?, dan yang paling penting seberapa besar rakyat dapat merasakan mamfaatnya ?. mustahil rakyat mengatakan bohong pada pemerintahnya jika apa yang menjadi kebijakan dan yang dilakukan telah memenuhi asipirasi rakyatnya, dan rakyat telah merasakan mamfaatnya.
Pijakan
Di negeri ini tokoh agama adalah panutan rakyat karena rakyat Indonesia adalah masyarakat beragama, toko agama memang dapat dijadikan panutan karena sampai sekarang tokoh agama lebih murni memperjuangkan kepentingan umatnya dari pada kepentingan pribadinya. Sangat beda sekali dengan tokoh politik, yang sering mempolitisir rakyatnya untuk kepentingan pribadinya, dan bahkan yang lebih celaka, mempolitisir agama untuk kepentingan pribadi dan golongannya. Di negeri ini legitimasi agama cukup besar peranannya, sehingga peran tokoh agama untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah, merupakan peran yang sangat penting. Dan hal ini oleh pemerintah semestinya dianggap sebuah kekuatan yang dapat dijadikan tolak ukur kemurnian berfikir untuk kepentingan rakyat, bukan dianggap sebuah ancaman yang dapat merugikan kredebilitasnya.
Ketika dilihat sepintas apalagi dilihat dari kacamata politik, ungkapan kebohongan yang dilakukan oleh tokoh agama tentu merugikan Pemerintahan SBY, karena kan dapat menghilangkan kepercayaan masyarkata akan kepemimpinannya. Tetapi ketika kita lihat lebih jernih dalam pemberian kontrol tadi, maka akan menyebabkan SBY semakin mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, dengan cara melakukan perbaikan kinerja dari berbagai sektor untuk memberikan jawaban terhadap kebohong yang telah dituduhkan kepada Pemerintah SBY.
Interpretasi
Kebohongan yang dituduhkan kepada pemerintah, oleh SBY perlu diinterpetasikan dalam bebagai kegiatan, tidak hanya dijadikan wacana informasi yang akan terus bergulir kesana-kemari, dihawatirkan nanti akan menimbulkan opini lain yang lebih parah. Ungkapan kebohongan yang dilakukan oleh sekolompok tokoh lintas agama itu belum menjadi cermenan ketidak percayaan rakyat Indonesia kepada Presidennya, akan tetapi sebuah ungkapan naluri yang dirasakan oleh para tokoh agama yang kemudian disampaikan kedepan publik sehingga menimbulkan reaksi. Jika hal semacam ini dibiarkan tidak menutup kemungkinan akan memicu terjadinya kerisis kepercayan dari rakyat yang semakin besar, seperti yang terjadi pada era Suharto.
Kalau kita mengaca pada sejarah “Tritura” yang pada waktu itu menuntut pembubaran PKI, pemulihan keamanan, dan turunkan harga, maka di era sekarang ini penting juga dimunculkan lagi “tritura ke-2” akan tetapi kalau tritura itu muncul dari rakyat karena kegelisahan rakyat akan ulah PKI, dan rasa tidak aman, serta belitan ekonomi yang disebabkan oleh situasi negara, maka istilah Tritura ke-2 ini harus tumbuh dari kesadaran pemerintah akan pentingnya mengayomi rakyat sesuai dengan kebutuhannya.
Dari 18 kebohongan yang diungkap oleh tokoh lintas agama, dapat difokuskan kepada tiga hal pokok kebutuhan rakyat yang dianggap Tritura ke-2 :
Pertama : Entaskan kemiskinan. Angka kemiskinan yang masih mencapai angka 31,02 juta itu menjadi salah satu indikator bahwa pembangunan disektor ekonomi di Indonesia belum menyentuh masyarkata bawah (sipil society). Sehingga menyebabkan rakyat belum menaruh kepercayaan secara penuh kepada pemerintah. Kata bohong tidak mustahil akan keluar bukan hanya dari tokoh agama akan tetapi bisa muncul dari para petani, nelayan, pedagang asongan, kuli dan bahkan juga TKI yang ada di mana-mana.
Kedua : Tingkatkan mutu pendidikan. Meningkatkan mutu pendidikan, melalui peningkatan pelayanan pendidikan yang baik, dengan menyediakan sarana prasana pendidikan yang memadai, masyarakat akan memiliki skill yang dapat memacu setiap indifidu untuk memiliki aktifitas dengan tanpa harus menggantungkan diri terhadap orang lain, dan bahkan negara lain dengan memposisikan rakyat indonesia sebagai babu diberbagai belahan dunia, yang selama ini selalu mendapat kekerasan, pemerasan, pendidasan, pemerkosaan, dan diskriminasi lainya.
Disamping itu tadi tentu dengan pendidikan yang bermutu dapat memberikan dampak mengurangi pengangguran, yang masih pada angka 9,96 juta. Pengangguran yang dihuni oleh sebagian besar lulusan SMA dan yang sederajat, bahkan lulusan S1, menjadi bukti bahwa lulusan pendidikan yang ada, belum memiliki mutu yang dapat mendorong akan peningkatan kesejahtraan. (baca : http://ratnaputrie.wordpress.com/2010/05/30/peran-pendidikan-tinggi-dalam-memotivasi-sarjana-menjadi-wirausahawan/)
Tiga : Penegakkan hukum , penegakan hukum di Indonesia masih kelihatan tebang pilih, para koruptor yang terdapat di semua lini kehidupan di Indonesia jarang sekali tersentuh oleh hukum. Persoalan korupsi telah mengakar, sejak pemerintahan Suharo sampai sekarang belum ada langkah pemerintah yang begitu segnefikan untuk menuntaskan kasus korupsi, yang terlihat kepada masyarakat kasus korupsi yang tertangani hanya para koruptor yang berkelas besar, yang bernilai milyaran rupiah, itupunpenangannya masih berbelat-belit, sehingga para koruptor yang telah terbukti melakukan korupsi, buktinya telah jelas dan terang tetapi pengadilan masih mengulur-ulur untuk memutuskan hukuman, sehingga dalam tenggang waktu itu para koruptor yang miliyarder mempunyai kesempatan untuk melakukan korupsi baru dengan main sogok sana-sini, mulai dari. Cukup ironis ketika polisi yang menangani kasus korupsi kemudian berbali dihukum karena korupsi, Kejaksaan yang memperoses hukum seorang koruptor masuk buih karena terlibat skandal korupsi, seorang hakin harus turun dari kursinya karena tealah terbukti menerima sogok dari terdakwah.
Kelucuan penegakan hukum di Indonesia ini harus segera diakhiri, percepat proses hukum bagi kuruptor, berikan hukum yang seberat-beratnya bagi mereka, babat habis para koruptor dari tingkat pusat sampai di tingkat yang paling bawah, lepas jabatan mereka biar jera untuk tidak berbuat korupsi, berilah kesempatan kepada yang lebih baik prangainya karena potensi rakyat yang lebih baik sudah terdapat di mana-mana.
Terakhir Kekesalan
Para tokoh agama telah muak atas kondisi negeri ini yang setiap saat selalu bercatur urusan korupsi, media menjadi tidak menarik lagi karena yang diinformasikan setiap hari persoalan korupsi, sampai menutupi mata rakyat yang berharap akan kesejahtraan dan kedamaian. Akhirnya para tokoh agama mengungkap kebohongan pemerintah yang merupakan tumpuan untuk menyelesaikan masalah negeri ini, yang sampai sekarang belum menemukan kepastian.
Agenda reformasi yang bergulir sejak 1998 yang lalu samapai sekarang belum memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan rakyat, malah memberikan angina segar bagi para petinggi untuk berbuat semaunya sendiri. Para tokoh reformasi yang telah memiliki poin jelas dalam agenda reformsi, mulai dari perbaikan ekonomi, penegakan hukum, meujudkan pemerintahan yang bersiah dari KKN, dan mencegah dis intergarsi bangsa dan agenda-genda lain, sekarang sudah mulai semu.
Para penerus perjuangan reformasi banyak yang tidak mengerti akan agenda yang harus diperjuangkan, mereka lebih sibuk dengan urusan politiknya sendiri atau golongannya. Ketika mereka menduduki jabatan penting bukan memperjuangkan kepentingan rakyat yang menjdi roh dalam agenda reformasi, mereka menyusun setrategi untuk melanggengkan kekuasaan. Cukup masuk akal ketika KH. Abdurrahman Wahid jadi presiden mengatakan kepada anggota DPR RI sebagai anak TK. karena Gus Dur menganggap mereka sekalipun telah menjadi orang penting di senayan, tetapi tidak mengerti apa sebenarnya yang menjadi titik pejuangan mereka, tentu dalam meujudkan agenda reformasi itu tadi.
Cukup penting untuk menjadi renungan kita bersama, untun mengembalikan krisis kepercayaan oleh rakat Indonesia atas pemerintahnya. Serta mencoba membuka bersama catatan agenda reformasi yang sudah mulai memudar, dan mulai nampak ada gambaran pemerintahan Indonesia akan kembali lagi pada pola pemerintahan orde baru, dengan pola pemerintahan otoriter, kekerasan meliterisme, dan pemangkasan polapikir, yang menjadi dasar reformasi harus diperjuangakan.
Saka’dinto,
Sumenep, 21 Januari 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H