Peringatan atas meninggalnya Gus Dur telah dilaksanakan pada tanggal 18 Desember 2010 yang lalu, beberapa kegiatan diadakan untuk, mulai dari acara tahlil bersama yang diadan di Pondok Pesantren Tebuereng Jombang yang dihadiri puluhan ribu orang, dan dimeriahkan oleh 13 group barongsai, sehingga harus diamankan oleh 700 orang personel polisi dari Polres Jombang. Kegiatan dialog dan seminar, yang diadakan oleh aktifis para pengagum peran Gus Dur baik beliau sebagai tokoh NU, seorang politikus, Presiden, pejuang keadilan dan diskriminasi dan bahkan sebagai homoris, semuanya tercermin dalam peringatan satu tahun meninggalnya gursdur, demikian juga ikut memeriahkan dalam haul tersebut pertunjukan barongsai yang merasa bebas untuk berantraksi semenjak Gus Dur menjadi presiden di Negeri ini.
Kapasitas Gus Dur sebagai Guru Bangsa yang telah dinobatkan oleh masyarakat Indonesia semenjak beliau meninggal, dalam peringatan satu tahun tersebut bergemuruh kembali, para tokoh di negeri ini banyak sekali yang memperbincangkan itu kembali karena melihat jasa Gus Dur dalam membangun bangsa ini, pahit manis, perih sedih dan tawa yang dilakoni Gus Dur dalam berjuang untuk menjadikan Indonesia sebagai Indonesia yang sesuai dengan harapan rakyatnya, menjadi Negara yang demokrasi adil dan makmur, semuanya di kenang dalam berbagai efen acara haul Gus Dur itu.
Guru Bangsa sangat pantasi disematkan kepada Gus Dur , karena jasa mereka untuk melakukan perubahan di negeri ini perlu diteladani. Yang mampu meneladani dari berbagai pemikiran yang telah diberikan oleh beliau kepada negeri ini, berarti dia telah mampu menjadi murid setianya.
Beberapa perubahan yang dilakukann oleh Gus Dur di negeri ini, yang merupakan ujud dari pemikiran reformis beliau yang telah mereka perjuangkan, walaupun tidak jarang mendapatkan pemikiran yang kontrafersial, baik dari komonitasnya sendiri sebagai warga NU, ataupun dari orang lain.
Perubahan di Intern NU
Perubahan didalam oraganisasi Nahdaltaul Ulama’ dimulai sejak Muktamar di Situbondo 1984, Gus Dur memperjuangkan beberapa perubahan besar di tubuh Nahdlatul Ulama’, memperjuangkan agar Organisasi Keagamaan dan Kemasyarakatan terbesar di negeri ini kembali ke Khittah 1926. Sehingga dalam kesempatan tersebut peserta muktamirin dapat merumuskan keputusan yang bermuara pada kepentingan masyarakat dan warga NU, serta dapat mengembalikan NU kepada tujuan yang sebenarnya ketia baru didirikan, yang telah disibukkan oleh hiruk pikuk politik karena NU menjadi partai politik. Dan pada waktu itu pula Gus Dur terpilih menjadi Ketua.
Dalam perjalanan Gus Dur menjadi ketua NU, begitu banyakperubahan yang dapat dilakukan, yang paling memberikan nuansa baru adalah membangun NU kultural menjadi NU Profesional atau NU jamaah menjadi NU jam’iyah, akan tetapi dengan tanpa menghilangkan tradisi NU kulturalnya. Ini sebuah pemikiran revolusioner, yang menyisakan PR bagi pengurus NU sampai sekarang, karena perubahan yang dilakukan oleh Gus Dur tidak semata-mata selesai waktu itu, akan tetapi membutuhkan waktu yang cukup panjang, yang menuntuk Penguru NU di masa-masa berikutnya untuk meneladani akan gerakan perubahan yang dilakukan oleh beliau.
Dalam konteks yang demikian ini, kemudian timbul pertanyaan siapa diantara pengur NU yang menjadi murid Gus Dur ?, yang dapat menjalankan risalahnya dalam melakukan pencerahan, akan pentingnya kembali ke khittah 26, sehingga dalam hiruk pikuk politik yang sikut sana sikut sini, tetap memiliki pegangan untuk melakukan sesuatu, demi kepentingan rakayat, tidak untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Demikian juga NU sebagai sebuah organi kemasyarakatan dan keagamaan yang punya tugas untuk memberikan pemahaman ASWAJA kepada warganya, tetap berjalan sesuai khittahnya, dan berani melawan rintangan tanap harus terpengaruhi oleh apa dansiap.
Perubahan dalam Konteks Kenegaraan
Dalam konteks keNegaraan Gus Dur juga memiliki titik yang harus diperjuangkan dalam melakukan perubahan. Dalam hal ini sangat nampak ketika beliau menjadi presiden RI, telah banyak yang mereka lakukan, beliau memahami Pancasila dan UUD 45, sebagai falasafah negara memang harus diterjemahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, muatan undang-undang tentang keadilan, penegakan hukum, kebebasan beraspirasi, kebebasan berkeyakinan harus segera diujudkan. Beberapa contoh konkrite yang beliau ajarkan kepada bangsa ini antara lain :
·Menghapus Deppen
Departemen Penerangan (Deppen) yang pada era Suharto di samping sebagai corong pemerintah untuk mencekoki rakyat dengan informasi yang diproyeksi untuk mempertahankan kekuasaan, yang selalu menyuarakan akan kebenaran dan kehebatan pemerintah dalam membangun Indonesia, juga sebuah lembaga yang dijadikan alat untuk melakukan koreksi kepada siapa saja yang berpikir kereatifuntuk melakukan kritik atas kebijakanpemerintah, atau berupaya untuk menyampaikan aspirasi melalui media. Lembaga ini tak segan-segan untuk melakukan beredel, pemangkasan dan bahkan ancaman. Sehinggarakyak yang mempunyai gagasan cemerlang untuk membangun bangsa menjadi kerdil bagai bonsai yang tak disiram, karena mereka tak punya kebebasan untuk berpikir.
Berangakat dari pemikiran itu ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden, lembaga itu di hapus. Dan ternyata membuat banyak kalangan merasa memperoleh angin segar, sehinga tidak ada lagi hantu yang menakutkan untuk berkarya dan menyuarakan aspirasi, lebih-lebih para pengelola media informasi tidak lagi ketar-ketir dalam memuat pemberitaan.
·Menghapus Depsos
Departemen Sosial (Depsos)sebuah lembaga pemerintah dikala orde baru digunakan untuk menyalurkan bantuan kepada masyarakat, lembaga ini yang banyak berperan dalam memilih dan memilah mana yang berahak menerima bantuan kerana berperan dalam upaya melanggengkan kekuasaan. Walaupun lembaga ini sebagai lembaga sosial, jangan menyangka setiap anggota sosial masyarakat bisa dapat menerima bantuan dengan mudah, akan tetapi masyarakat sebagai anggota sosial harus berani menyatakan untuk membatu melancarkan, memenangkan partai kuning, sebagai partanya orang-oranga pemerintah, kalau tidak jangna bermimpi untuk mendapat bantuan.
Depsos oleh Gus Dus dianggap sebagai sebuah lembaga yang menjadi sarang koruptor, sehingga ketika beliau jadi presidaen lembaga tersebut dibubarkan, walaupun mendapat kecaman dari berbagai pihat termasuk dari kalangan beliau sendiri warga NU.
·Menghapus Meliterisme
Pada preode pemerintahan sebelum Gus Dur, rakyat Indonesia merasa ketakukan, karena sistem perintah untuk melanggengkan kekuasaannya menggunakan sistem meliterisme, meliter dijadikan sebagai super power untuk mengamankan kekuasan, termasuk juga polri merasa ketar-ketir karena mereka dibawah kendali meliter.
Kita masih ingat ketika pemilu tahun 1977, bagaiman rakyat merasa ketakutan ketika itu kampanye begitu banyak tentara datang dengan senjata lengkap seakan-akan mereka siap berperang melawan kekuatan musuh, padahal yang mereka amankan adalah rakyatnya sendiri yang juga berjuang untuk kepentingan Negeri Indonesia.
Maka kemudian sesterm ini dilakukan perubahan, dengan mendudukkan dua lembaga keamanan tersebut pada fungsi yang sebenarnya, TNI untuk penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa. Sedangkan Polri berfungsi memelihara keamanan, ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman kepada masyarakat.
·Menghilangkan diskriminasi
Demikian juga diskriminasi terhadap anggota PKI, pada masa Presiden Gus Dur, dilakukan pembongkaran dengan mencabut Tap MPRS nomor : 25 Tahun 1966, hal ini membuat ketar ketir sebagian masyarakat karena ada kemungkinan PKI akan muncul kembali di Indonesia. Akan tetapi Gus Dur beranggapan bahwa Tap MPRS tersebut bertentangan dengan Undang-undang yang telah memberikan kebebasan rakyatnya untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing, sehingga harus dihapus.
Perubahan yang dilakukan Gus Dur dalam konteks keNegaraan tersebut diatas mestinya harus diteladani oleh para penguasa di negeri ini,semisal Pak SBY sebagai presiden dan Aggota Parlemin, kalau mereka adalah murid Gus Dur maka semestinya mereka meneladani gerakan gurunya. Jangan malah membuta kebijakan baru yang justru berfungsi kontrafersial.
Harus direnungkan bahwa pengakuan terhadap Gus Dur sebagai Guru Bangsa, adalah sebuah kesadaran pencerminan akan jasa-jasa beliau dalam memperjuangkan umat, rakyat indonesia secara keseluruhan dengan tanpa memandang batas golongan, ras, pangkat, derajat dan bahkan agama. Merupakan keharusan kepada generasi selanjutnya untuk selalu mengenang dan mengingat jasa-jajasanya kemudian meneladani dan meneruskan risalahnya. Semuga bisa, demi untuk Indonesia.
Saka’dinto
Dungkek, 11 Januari 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H