Apakah langkah yang pertama kali singgah di Mandalawangi,
menuntun diri untuk menabur sesuatu yang berarti?
Saat ini, atau nanti, semua terus berotasi
Layaknya angin tak pernah berhenti lalu-lalang kesana-kemari
Begitulah langkah kaki, ketika berhenti, malah mau beranjak pergi
Tapi, kita harus bisa mensiasati
Semua yang membentuk hingga kini, selalu beriringan Amor Fati
Ya, dilema terus menghantui
Entah akan kemana diri ini menepi
Negeri sedang penuh ironi
Pemimpin terus berambisi
Hak rakyat dikebiri
Lingkungan digerogoti
Politik tak bernurani
Konon, semakin tua-dewasa, kita semakin handal
Menghadapi segala sesuatu yang tak pasti
Menepis segala sesuatu yang penuh benci
Melihat segalanya dengan empati
Mendorong tanpa harus menghakimi
Merebut tanpa perlu mencaci
Semua sedang dilanda penyakit
Moral negeri atau manusiawi
Kegundahan yang dirasa tak mengenal sepi
Diri mencoba untuk terus tenang di tengah badai
Disini, menjadi saksi ketika orde bengis sebelum tiba
Sosok muda dan di kenang abadi itu ada
Menulis dan menjalankan dengan penuh cinta
Gie, Mandalawangi rindu sosok tangguh yang terus membara
Mengajarkan bahwa kebenaran tak boleh diasingkan
Menggelorakan keberanian demi peradaban
Menghadapi kekuasaan dengan kelembutan
Mengikis kebodohan melalui pendidikan
Tetapi, apakah semua itu akan terjadi?
Di tengah kekuasaan yang tanpa perlawanan
Di pinggir ada rakyat yang menanti kesejahteraan
Di ujung ada yang butuh perlindungan
Di bawah ada yang mengharapkan keadilan
Di sini, yang ada hanyalah kedamaian dan ketenangan
Mandalawangi, 18 Agustus 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H