Pasca munculnya coronavirus disease 19 atau covid-19 pada akhir Desember 2019 lalu,  yang selain memakan banyak korban, virus ini benar-benar mengguncang stabilitas kesehatan maupun ekonomi negara-negara di dunia.
Hingga saat penulisan ini, tercatat telah 218 negara yang terinfeksi virus ini dengan 50.659.024 jumlah kasus covid-19  dengan jumlah kematian sebanyak 1.260.620 korban dari seluruh dunia  dan 35.732.603 orang telah dinyatakan  pulih (Worldometers, 2020).
Selain dampaknya yang begitu luar biasa terhadap kesehatan masyarakat dunia, Â covid-19 ini juga menyebabkan melemahnya ekonomi global akibat kebijakan negara-negara di dunia untuk melakukan lockdown ataupun pembatasan sosial (Detiknews, 2020).
Bahkan, pada akhir Agustus lalu terdapat 42 negara yang mengalami resesi akibat covid-19 (CNBC, 2020). Indonesia pun tidak luput dari resesi, yang dimulai sejak awal November ini (Detik, 2020).
Keadaan pandemi ini membuat masyarakat dunia, terutama Indonesia mau tidak mau harus beradaptasi dengan hal baru yang sebelumnya belum pernah terjadi, yakni digitalisasi di banyak aspek, terutama di bidang  pendidikan. Di bidang pendidikan, pendidikan jarak jauh (perkuliahan daring) merupakan sarana utama dalam pembelajaran ketika wabah Pandemi Covid-19. (Widiyono, 2020).
Pembelajaran  daring atau  pembelajaran jarak  jauh  sendiri  bertujuan  untuk  memenuhi  standard pendidikan melalui  pemanfaatan  Teknologi  Informasi dengan  menggunakan  perangkat  komputer  atau  gadget yang  saling  terhubung  antara siswa dan guru (Astini, 2020).
Di sisi lain, pandemi ini menujukkan pula ketidaksiapan Indonesia dalam era digitalisasi ini, ketika melihat bahwa pemerataan teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia masih sangat kurang di berbagai daerah di Indonesia. Padahal, gelombang perubahan mahadahsyat yang kini mendisrupsi pekerjaan, bisnis, dan berbagai aspek kehidupan kita telah terjadi. Pada saat ini, kita telah 'tercebur' dan masuk dalam pusaran revolusi digital yang berputar demikian cepat (Priyantono Rudito, 2017).
Setiap dari kita adalah pemimpin, hal ini sesuai teori sifat (Trait Theory) yang beranggapan bahwa orang-orang tertentu sejak dilahirkan telah dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa berupa bakat, sifat atau karakteristik dasar yang secara alamiah sangat ideal untuk menjadi pemimpin (Haryono, 2015).
Menurut Prof. Rhenald Kasali, Ph.D Guru Besar Universitas Indonesia dan Pendiri Rumah Perubahan, Â manusia membutuhkan lebih dari sekedar keandalan, yaitu kepemimpinan yang mampu mengelola segala keterbatasan dan kesulitan menjadi kesempatan yang berharga dan menggerakkan perubahan.
Berkaitan dengan hal tersebut ada dua hal utama yang seharusnya dilakukan oleh seorang Pemimpin. Pertama, memahami realitas yang ada (understanding). Kedua, Â menyesuaikan diri dengan realitas tersebut (adjusting)Â (Zalukhu, 2017 ).
Menurut Sumber dari Working With Generations X And Y In Generation Z Period: Management Of Different Generations In Business Life (Sezin Baysal Berkup, Gediz University, zmir, Turkey, 2014) menyebutkan bahwa generasi milenial atau generasi Y adalah mereka yang lahir antara tahun 1980 sampai dengan 2001 (Kemenpppa, 2018).