[caption id="attachment_305145" align="aligncenter" width="360" caption="OP.DOK. Alat Peraga Sosialisasi di Perempatan Ring Road Condong Catur Yogyakarta saat kampanye lalu. ada yang salah???"][/caption]
Luber Jurdil adalah azas pemilu yang selalu di dengung-dengungkan kala bicara tentang pemilu yang ideal. Langsung, Umum , Bebas, Rahasia , Jujur dan Adil demikian slogan itu begitu nyaring diserukan. Sejak kita masih SD dulu di Zaman Orba toh Slogan yang sama sudah sangat kita hapal, Nyatanya? Tetap saja rakyat banyak yang merasa takut memilih partai selain yang pemenang saat itu, pun demikan dengan pemenang pemilu sudah diketahui jauh-jauh hari sebelum penyelenggaraan pemilu terjadi.
Azas adalah sesuatu yang amat mendasar atau lebih tepatnya disebut fondasi sebuah bangunan. Kuat dan lemahnya sebuah bangunan tentu amat tergantung dengan fondasinya. Luber dan Jurdir sebagai fondasi pemilu realitanya hanyalah sebuah hiasan dan pemanis saja, maka sesungguhnya bangunan besar yang bernama pemilu itu akan mudah runtuh dan hanya sekedar seremonial dari sebuah perggantian kekuasaan saja. Mimpi masyarakat akan berubah nasibnya menjadi lebih sejahtera hanyalah tetap sekedar mimpi.
Seperangkat hukum dan berbagai perangkat aturan lainnya sebetulnya sudah disusun rapi untuk memastikan pemilu berjalan dengan azas itu, bahkan separangkat ancaman pidana juga sudah disiapkan untuk menjaring berbagai penyimpangan yang diprediksi akan terjadi. Tapi nyatanya terlampau sedikit kasus kasus masif yang terjaring aturan hukum itu. Hukum itu terlalu menakutkan seperti yang tertulis dalam normanya, tapi mandul dalam realitanya.
Politisi dan masyarakat telah terlibat dalam suatu pola hubungan rumit yang bukan komensalime. Bukan juga mutualisme tapi juga bukan parasitisme. Tapi sebuah pola hubungan yang belum ada teorinya dalam ilmu biolagi yaitu pola hubungan yang saling memeras, saling memanfaatkan demi kepentingan sesaat dan saling menjadi parasit,…hhmm money politic itu sudah beranak pinak sedemikan dahsyatnya.
Sudah terlalu banyak pembahasan dan tulisan tentang persoalan yang sedemikain mendasar dalam pemilu 2014 yang betul-betul jauh dari esensisnya. Hampir semua partai dan hampir semua caleg di level apapun hampir semua mempraktekkan pola suap menyuap seperti ini. Jika dibuat prosentase barangkali hanya kompetisi di DPD yang relatif bersih dibandingkan dengan dengan pemilihan DPR dan DPRD. Kuman yang amat mematikan ini telah merasuk dan membusukkan sendi-sendi kehidupan dalam berdemokrasi.
[caption id="attachment_305146" align="aligncenter" width="545" caption="dok pribadi. Mural di Jembatan layang Janti Yogyakarta beberapa waktu yang lalu : Kami Ingin Kesejahteraan Bukan Pemilu"]
Beberapa Modus Money Politic atau pola hubungan saling memeras antara rakyat dan para caleg adalah sebagai berikut ;
Pertama, menggunakan pintu kampanye pertemuan tatap muka atau pertemuan terbatas. Para caleg memperkenalkan dirinya masing-masing dan sekaligus menyampaikan visi-misinya apabila terpilih menjadi anggota dewan sekaligus menyebarkan brosur, kartu nama caleg, stiker dll. Setelah ada sedikit Tanya jawab pertemuan diakhiri dan para peserta diberi pengganti uang transport, besarnya sangat beragam ada yang 20 ribu, 50 rb, untuk kategori “kader” misalnya bahkan bisa mencapai 100 rb. Uang sebesar tersebut bisa dibayar sendiri oleh caleg tersebut, namun bisa dibayar bersama para Tandem. Tandem adalah istilah kerjasama antar caleg yang berbeda level, misalnya caleg DPRD Kab/Kota bertandem dengan Caleg DPRD Provinsi dan juga bertandem dengan caleg DPR RI. Cara sosialisasi seperti ini sudah banyak dievaluasi kurang efektif, sebab kelompok masyarakat ternyata menerima sosialisasi dari berbagai partai dan bahkan berbagai caleg dari partai yang sama. Setelah caleg tertentu sosialisasi dan ada permintaan sosialisasi dari partai lain maka juga akan diterima, jadi otomatis uang transport yang dapat diterima sekelompok masyarakat juga bisa berkali-kali. Tidak pernah bisa diukur akhirnya masyarakat akan memilih siapa.
Kedua, dengan cara bantuan langsung. Bantuan langsung adalah pemberian dari caleg untuk komunitas atau kelompok tertentu, transaksi biasanya dilakukan setelah kegiatan sosialisasi dilakukan. Yaitu ada suatu kesepakatan antara caleg atau bisa saja melalui tim-nya bernegosisasi. Bantuan langsung bisa berupa barang misalnya semen 20 sak untuk pembuiatan jalan, atau bisa berupa bantuan tenda untuk pertemuan, Genset atapun wireless. Tapi bisa juga berupa uang tunai untuk kas kelompok. Para caleg biasanya mengkonversi besaran bantuan langsung terhadap komitmen masyarakat untuk memberikan suara sejumlah angka tertentu. Selain melalui sosialisasi masyarakat ada juga yang mengirimkan proposal tertentu melalui seorang kurir diantara mereka sendiri, proposal selain disebutkan jenis bantuan dan besaran yang diminta biasanya juga lengkap dilampiri by name, address dan no HP calon pemilih yang siap memberikan suaranya apabila proposal tersebut disetujui.
Yang ketiga, adalah dengan cara tembakan langsung. Banyak istilah yang biasa digunakan dalam cara ini, seperti serangan fajar. Namun yang paling popular adalah bitingan. Bitingan adalah berasal dari kata Biting yang berasal dari bahasa jawa yang artinya lidi. Satu biting satu lidi atau satu suara. Dalam pelajaran matematika jika kita ingin menghitung suara satu persatu biasanya dengan Tally Sheet, lidi di tata 4 buah lidi berjejer dan satu lidi disilangkan untuk mempermudah menghitung, menjadi 5 lidi atau biting. Namun demikian istilah bitingan juga sering digunakan masyarakat ketika sedang bermain judi dengan kartu tertentu, angka yang mereka peroleh sering dikonversi menjadi biting. Dalam pemilu 2014 ini istilah bitingan menjadi sangat popular. Hampir 90 persen masyarakat paham istilah ini, yaitu menukar suara 1 biting dengan sejumlah uang tertentu.
Dihampir setiap masyarakat ada yang bersedia menjadi agen, jika kita tidak tahu, sebetulnya dapat dipastikan bahwa kita adalah pihak yang sengaja “dilewati” oleh para agen tersebut. Angka bitingan sangat bervariasi tergantung transaksi. Yang paling besar adalah untuk DPRD Kab/Kota. Angka berkisar antara 50 ribu rupiah per biting sampai dengan 75 rb rupiah per biting. Jadi dapat dibayangkan apabila satu keluarga mempunyai 4 pemilih maka mereka akan mendaftarkan 4 orang kali 50 rb jadi akan menerima 200 ribu rupiah. Sedangkan untuk DPRD Provinsi juga bervariasi tergantung transaksi dengan besaran antara 20 ribu sampai dengan 50 ribu rupiah. Sementara untuk DPR RI transaksi terjadi di angka sekitar 20 ribu rupiah per biting. Kita juga bisa bayangkan apabila bitingan dilakukan dengan cara bertandem, maka setiap pemilih biasa memperoleh 100 ribu dengan rincian suara DPRD kab/kota 50 rb, DPRD Prov 30 rb dan DPR RI 20 rb rupiah.
[caption id="attachment_305147" align="aligncenter" width="547" caption="dok.pribadi. billboard Roy Suryo bertebaran di berbagai sudut Kota Yogyakarta saat kampanye pemilu yang lalu"]
Modus yang ketiga ini paling marak di pemilu 2014 ini, masyarakat tidak lagi peduli dengan track record masing masing caleg. Mungkin masyarakat sudah bosan dan jengkel dengan para politisi, mungkin juga masyarakat sudah frustasi dan tidak peduli dengan pemilu. Mungkin bagi masyarakat, siapapun yang akan jadi anggota dewan di level manapun, dan dari partai manapun sama saja. Mungkin masyarakat sudah terlampau jenuh bahwa para politisi di semua partai dan di semua level melakukan korupsi seperti yang jamak dan berjamaah setiap hari dikabarkan oleh televisi. Kondisi inilah yang menyebabkan rasa frustasi itu sulit dilampiaskan, sulit memberi reward and punishment akhirnya ya siapapun dan siapa saja yang menawarkan sejumlah uang tertentu akan dipilihnya. Tidak peduli dari partai manapun, tidak peduli dikenal atau tidak, tidak peduli berbeda atau apa ideologynya apalagi kepercayaannya. Masa bodoh.
Jadi jangan heran apabila ada caleg bermasalah hukum soal korupsi namun terpilih, jangan juga heran apabila ada caleg yang menebar baliho besar-besaran disemua dusun tanpa sosialiasasi apapun, tanpa harus betemu dengan masyarakat, tanpa dikenal, tanpa minta restu-restuan tapi menjadi caleg terpilih. Dan jangan heran dengan apapun yang terjadi terhadap kasus-kasus aneh dalam pemilu 2014 ini, karena semua dapat terjadi di tengah kefrustasian masyarakat, dan pesona tebaran uang yang begitu lebat menguyur masyarakat di setiap penjuru ini. Yang terpilih yang menebar duit hhmm…
Lalu bagaimanakah dengan para caleg yang gagal? Apakah mereka gagal karena tidak melakukan bitingan? Jawabnya tentu tidak. Kegagalan para caleg tentu dengan sebab yang sangat beragam. Para caleg yang gagal biasanya karena berbagai hal, pertama karena kalah jumlah dalam bitingan, baik nominalnya maupun jumlah bitingnya. Kedua karena salah memilih tim di internal mereka, kebocoran dalam program bitingan juga sangat tinggi, angkanya bahkan bisa mencapai 60 persen. Netes 40 persen sudah sangat bagus, artinya ada yang tidak netas sama sekali (uang hanya diambil dan tidak disebarkan oleh timnya sendiri atau agennya di level bawah) dll dengan variasi yang amat banyak.
Praktek money politic yang sudah demikian terbuka, masif dan terstruktur mustahil tidak diketahui oleh para penyelenggara pemilu. Bawaslu yang mempunyai perangkat sampai tingkat desa sudah pasti mengetahui hal ini. Mereka tak berdaya, seperti air yang tetes jatuh di hamparan lautan. Kadang diantara tetangga ataupun keluarga adalah obyek bahkan subyek dari rantai kuman busuk itu. Akhirnya? Permisif dan seolah tidak pernah terjadi suatu apa. Penyelenggaraan pemilu dianggap berhasil dan Sukses. Seperangkat norma aturan hukum tetap tersimpan rapi membeku dalam lembaran Negara, tak berguna. Hhmm.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H