Mohon tunggu...
Sapar Diyono
Sapar Diyono Mohon Tunggu... profesional -

Komunitas Peduli Lingkungan, Alumni Fakultas Kehutanan UGM http://sapardiyono.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pers dan Kampanye, Kritik terhadap Regulasi KPU

20 Desember 2015   05:35 Diperbarui: 20 Desember 2015   10:59 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="lembaga penyiaran merasa keberatan dengan aturan kampenye pilkada, Sumber kpid.jogjaprov.go,id"][/caption]

Pilkada serentak yang dilaksanakan kemarin pada tanggal 9 Desember 2015 sudah berakhir dan dapat dikatakan berhasil sekalipun tidak sempurna. Indikasi yang paling gampang untuk menilai keberhasilan ini adalah prosesnya yang tertib, aman dan tidak terjadi kerusuhan dimana-mana. Namun demikian beberapa catatan yang sering disampaikan pengamat juga patut menjadi catatan untuk evaluasi kedepan seperti banyaknya pemungutan suara ulang dan minimnya patisipasi masyarakat. Tulisan singkat ini mencoba untuk memberi masukan yang berkaitan dengan regulasi.


Pilkada Garing.
Garing adalah bahasa Jawa yang artinya adalah kering, yaitu semacam ungkapan untuk menggambarkan bahwa Pilkada tahun 2015 ini tidak semarak atau sepi publikasi. Ada beberapa hal yang menyebabkan mengapa hal ini terjadi pertama, KPU membatasi bahwa alat peraga kampanye seperti baliho, spanduk, umbul-umbul dan lain-lain tidak boleh dipasang oleh para pasangan calon. Alat peraga ini hanya boleh dipasang dan dibiayai oleh KPU di tempat-tempat yang sudah ditentukan. Aturan ini menyebabkan Pilkada menjadi sepi dan kurang sosialisasi mengingkat keterbatasan anggaran yang dimiliki KPU dan luasnya wilayah menyebabkan jumlah alat peraga yang dipasang menjadi tidak kelihatan tertutup oleh aneka publikasi lainnya. Kedua Iklan Kampanye, hanya boleh dilakukan dan dibiayai oleh KPU dengan ketentuan dilakukan selama 14 hari menjelang hari tenang dan untuk lembaga penyiaran maksimal 10 spot perhari percalon dengan maksimal 30 detik untuk TV dan 60 detik untuk radio.

Kedua aturan tersebut tujuannya adalah baik, yaitu untuk membatasi penggunaan dana kampanye yang jor-joran. Prinsipnya penggunaan dana kampanye memang harus dibatasi untuk menghindari para calon yang bermodal besar lebih berpeluang menang karena lebih mampu membentuk opini masyarakat menggunakan media. Namun demikian pengaturan ini juga menyebabkan pilkada menjadi sepi dan minim publikasi. Apalagi sanksi yang diberikan cukup berat apabila ada pasangan calon yang terbukti melanggar, yaitu pembatalan statusnya sebagai pasangan calon. Dari sudut pandang media, kondisi ini menyebabkan media menjadi minim kreatifitas dan terbelenggu oleh aturan KPU, sehingga wajar jika beberapa kelompok media justru menyerukan boikot terhadap pilkada karena regulasinya membatasi mereka untuk mengeluarkan pendapat. Sedangkan dari sudut pandang politik, regulasi ini tentu menguntungkan para petahana karena para kompetitornya akan sulit bersosialisasi secara masif kepada masyarakat.

Atribusi, penafsiran delegasi yang kebablasan
Dalam ilmu hukum kita mengenal istilah original regulation dan delegated regulation. Original regulation adalah wewenang asli dari lembaga negara untuk membentuk peraturan perundangan. Wewenang untuk membuat norma hukum ini dimiliki oleh MPR, DPR dan DPRD yang merupakan representasi dari rakyat sebagai penerapan dasar-dasar teori demokrasi dari rakyat, oleh dan untuk rakyat. Sedangkan delegated regulation adalah wewenang dari lembaga tertentu yang diberi delegasi untuk menjabarkan lebih lanjut norma hukum yang sudah ada. Menjabarkan dalam hal ini tidak dimaksudkan untuk membuat norma baru, menambah norma baru atau malah menegasikan norma yang sudah ada, jadi ya hanya menjabarkan. Contoh, undang-undang memberikan atribusi kepada lembaga tertentu untuk membuat rumah tembok, maka rumah tembok tersebut dapat dijabarkan menjadi terdiri dari 3 kamar tidur, 1 kamar mandi, 1 dapur dan lain sebagainya. Menjabarkan tidak boleh menambah norma baru misalnya dengan membuat rumah tembok atau rumah joglo. Rumah joglo dalam perspektif ini adalah norma baru yang pengaturannya hanya boleh dilakukan atau ditambahkan oleh pemilik asli pembuat regulasi yaitu MPR, DPR atau DPRD.

Dalam kasus pengaturan kampanye oleh KPU ditemukan problem ini terjadi, yaitu di pasal 68 ayat (2) Undang-Undang No.8 tahun 2015 yang mengatur tentang Pilkada disebutkan bahwa, “debat publik/terbuka disiarkan secara langsung melalui lembaga penyiaran publik”. Sesuai dengan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang dimaksud Lembaga Penyiaran Publik disini adalah TVRI atau RRI. Jadi berdasarkan kedua undang-undang ini maka sesungguhnya hanya TVRI dan RRI-lah yang diberi hak untuk melaksanakan dan menyiarkan secara langsung debat publik dalam pilkada.

Namun demikian dalam peraturan KPU No. 7 tentang kampenye pilkada disebutkan bahwa debat publik disiarkan secara langsung melalui Lembaga Penyiaran Publik atau Lembaga Penyiaran Swasta. Dalam hal ini KPU sebenarnya telah membuat norma baru ketika menyebutkan atau Lembaga Penyiaran Swasta. Argumen dari KPU adalah mereka tekah memperoleh atribusi mengatur lebih lanjut dalam peraturan KPU. Namun demikian apa yang dilakukan KPU ketika menambah norma baru adalah penafsiran yang kebablasan, mengingat atribusi sebetulnya hanya berwenang untuk menjabarkan bukan untuk membuat norma baru.

Pelaksanaannnya di D.I.Yogyakarta kemarin, semua debat publik akhirnya diselenggarakan di LPS yaitu Jogja TV. Kebijakan KPUD ini tentu tidak salah karena berdasarkan Peraturan KPU memang dibolehkan diselengarakan di LPS, namun sebetulnya penyelenggaraan ini tetaplah tidak benar sesuai dengan peraturan asli yang tercantum dalam Undang-undang.

Dengan cara pandang ini, bagi KPI bisa saja tetap berpendapat bahwa pelaksanaan debat publik kemarin yang diselenggarakan di Jogja TV adalah salah satu jenis pelanggaran karena melanggar ketentuan pasal 68 ayat (2) UU No. 8 tahun 2015, dimana hanya LPP lah yang diberi hak oleh undang-undang untuk menyelenggarakan debat publik.

Semoga dapat menjadi masukan dan koreksi dalam peyelenggaraan pilkada kedepannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun