[caption id="attachment_321255" align="alignnone" width="546" caption="kompas.com. Tommy Soegiyarto andalan Indonesia di WBC 2014"][/caption]
Kejuaraan Dunia bulutangkis yang sedang berlangsung di Kopenhagen, Denmark antara tanggal 25-31 Agustus ini mulai kehilangan pamor dan kehilangan Gengsi. Sangat jauh gengsinya apabila dibandingakan dengan Olimpiade, padahal kasta, hadiah maupun poin yang diperoleh para pemain sebetulnya relatif sama. Beberapa pemain kelas atas bahkan lebih memilih Asian Games jika diandingakan dengan Kejuaraan Dunia dengan argumen kalau Asian Games hanya dilangsungkan 4 tahun sekali.
Kejuaraan dunia bulutangkis yang sampai hari ini telah memasuki babak ke-3 atau 16 besar ini terasa pamornya turun drastis dapat dilihat dari beberapa gejala sebagai berikut : pertama, kejuaraan Dunia tahun 2014 kali ini tidak diikuti oleh 3 juara bertahan, yaitu Lin Dan di tunggal putra asal Negeri Tiongkok, dan 2 pasangan ganda asal Indonesia yaitu Hendra Setiawan/Muhammad Ahsan di Ganda Putra dan Tantowi Ahmad/Liliana Nastir untuk ganda campuran. Lin Dan gagal mempertahankan gelar karena kurang aktif ikut turnamen di sepanjang tahun 2014 sehingga poinnya tidak mencapai batas yang telah ditentukan BWF. Sedangkan Hendra/Ahsan juga tidak mampu mempertahan gelar karena cedera yang dialami Ahsan. Demikian pula Tantowi/Liliana Natsir juga tidak bisa mengikuti turnamen karena Tantowi cedera.
Sebab yang kedua adalah, banyaknya pemain top kelas dunia yang absent dalam kejuaraan dunia kali ini, sebut saja Kenichi Tago rangking 4 dunia asal Jepang, pebulutangkis gaek asal Thailand rangking 13 dunia Bonsak Ponsana juga absent kabarnya Bonsak lebih memilih Asian Games sebagai target utamanya. Du Pengyu asal Tiongkok rangking 10 dunia juga absent karena sakit, dan Simon Santoso asal Indonesia rangking 8 dunia juga absent akibat terserang demam berdarah menjelang kejuaraan berlangsung.
Selaain dua alasan tersebut diatas sebetulnya ada penyebab lain yang mengakibatkan Kejuaraan Dunia seolah hambar yaitu Pertama padatnya turnamen kalender BWF di level tertinggi Super Series maupun Super Series Premier dan beberapa tunamen lain level dibawahnya seperti Grand Prix dan Grand Prix Gold. Dalam 1 bulan saja misalnya setiap pemain top dunia kadang bisa mengikuti 3 turnamen sekaligus di level Super Series. Tingginya frekuensi bertanding antar atlet dunia ini akan menyebabkan kejenuhan, kecapekan dan ujung-ujungnya rawan cedera.
Namun sebab yang paling utama dari menurunnya pamor kejuaraaan dunia ini adalah diselenggarakannya kejuaraan dunia ini setiap tahun sekali. Kebijakan yang diambil oleh BWF ini menyebabkan kejuaraan dunia seolah tidak lagi ada bedanya dengan turnamen-turnamen lainnya selevel Super Series Primeir. Tidak bisa juara dunia kali ini toh bisa ikut lagi tahun depan, demikian seterusnya. Wajar apabila beberapa pebulutangkis lebih memilih Asian Games yang levelnya sebetulnya “hanyalah” Asia. Namun karena kejuaraan multi cabang ini disenggarakan 4 tahun sekali maka gengsinya akan terasa tinggi karena setiap pemain akan sulit bisa memperoleh peluang lagi di 4 tahun yang akan datang.
Untuk mengembalikan lagi pamor dan gengsi kejuaraan dunia perlu kiranya BWF meninjau lagi penyelenggaraan World Badminton Champhionship supaya jangan setahun sekali, 2 tahun sekali adalah angka jalan tengah yang realistis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H