Mengapa sesungguhnya makna kata bersifat rumit? Karena sebenarnya Kita keliru bila kita menganggap bahwa kata-kata itu mempunyai makna. Kitalah yang member makna pada kata. Dan makna yang kita berikan kepada kata yang sama bisa berbeda-beda, tergantung pada konteks ruang dan waktu. Makna muncul dari hubungan khusus antara kata dan manusia. Makna tidak melekat pada kata-kata, namun kata-kata membangkitkan makna dalam pikiran orang.
- Bahasa Daerah VS Bahasa Daerah
Terdapat berbagai kelompok manusia dengan budaya dan subbudaya yang berbeda,tidak mengherankan bila terdapat kata-kata yang kebetulan sama atau hampir sama tetapi di maknai secara berbeda, atau kata-kata yang berbed namun dimaknai secara sama. Contohnya kata awak untuk orang minang berarti ’saya’ sedangkan dalam bahasa melayu berarti ’kamu’. Bayangkan apa jadinya bila orang Minang dan orang Palembang sma-sama menggunakan kata awak.
- Bahasa Daerah VS Bahasa Indonesia
Sejumlah kata dari bahasa daerah juga digunakan dalam bahasa Indonesia (atau bahasa Indonesia dalam dialek Betawi), atau sebaliknya,kata-kata Indonesia terdengar seperti diselipkan dalam bahasa daerah, namun artinya sangat jauh berbeda. Misalnya, kata sokdalam bahasa Sunda sering disalah tafsirkan oleh orang non-Sunda. Dalam bahasa Betawi atau bahasa Indonesia sokitu berarti sombong, seperti dalam kalimat “Orangnya paling sok“. Namun seorang mahasiswa non-Sunda yang meminta izin kepada kakak kelasnya yang asli Sunda dalam suatu rapat boleh jadi merasa tidak enak ketika kakak kelasnya itu menjawab “sok” yang artinya “Silahkan”.
- Bahasa Indonesia VS Bahasa Malaysia (Asing)
Suatu bangsa atau suku biasanya menganggap bahasanya sendiri sebagai yang terbaik,dan menganggap bahasa yang digunakan bangsa atau suku lain “tidak alamiah”, baik cara bicara ataupun kata-kata yang mereka ucapkan. ”Mengapa mereka tidak menggunakan kata-kata yang benar untuk menyebut segala sesuatu?” begitu mungkin piker kita. Maka janganlah heran kalau ada orang Malaysia yang berkata: ”Sepasang kelamin tinggal di rumah itu”,(sepasang kelamin=sepasang suami istri); ”Mari kita tengok wayang” (wayang=film); atau “Bom yang gugur telah menjahanamkan beberapa buah bangunan” (jahanam=rusak,menjahanamkan=merusakkan). Saya sering merasa sulit memahami bahasa Malaysia, karena orang Malaysia berbicara cepat,dengan intonasi berbeda,dan juga menggunakan kata-kata yang di telinga terdengar “aneh”.
- Bahasa Gaul dan Bahasa pada kelompok masyarakat tertentu
- Bahasa Kaum Selebritis
Kalangan selebritis pun memiliki bahasa gaul. Baronang = baru; pinergini = pergi dan lain sebagainya. Dalam kata-kata itu sering ada sisipan IN. Ada sejenis rumus yang digunakan. Namun rumus itu sudah kadarluasa, sudah terlalu umum, maka mereka menciptakan bahasa baru lagi. Bahasa gaul ini bukan hanya alat komunikasi, namun juga alat identifikasi. Ada kebutuhan di antara para pemakainya untuk berkomunikasi dengan bahasa yang tidak diketahui banyak orang,terutama bila menyangkut hal-hal yang sangat pribadi. - Bahasa Gay dan Bahasa Waria
Di Negara kita bahasa gaul kaum selebritis ternyata mirip dengan bahasa gaul kaum Gay (homoseksual) dan juga bahasa gaul kaum Waria atau Banci. Sekelompok mahasiswa dari Fikom Unpad, berdasarkan penelitian mereka atas kaum Gay di Bandung, menemukan sejumlah kata yang mereka gunakan, misalnya adalah binaginus (bagus), cinakinep (cakep), duta (uang), dan sebagainya.
- Bahasa Kaum Selebritis
Komunikasi Konteks Tinggi VS Komunikasi Konteks Rendah
Komunikasi konteks-rendah: pesan verbal dan eksplisit, gaya bicara langsung, lugas, terus terang. Contoh kalimat konteks rendah adalah komunikasi (program) komputer. Setiap pesan harus dispesifikasikan dengan kode-kode tertentu; kalau tidak programnya tidak akan jalan, sifat komunikasi konteks-rendah adalah cepat dan mudah berubah, karena itu tidak menyatukan kelompok. Sebaliknya Komunikasi Konteks Tinggi: kebanyakan pesan bersifat implisit, tidak langsung dan tidak terus terang. Contoh komunikasi konteks-tinggi adalah komunikasi orang kembar dengan menggunakan kalimat pendek-pendek atau kata-kata singkat.
Sifat komunikasi konteks-tinggi adalah: tahan lama, lamban berubah, dan mengikat kelompok yang menggunakannya. Berdasarkan sifatnya ini orang-orang berbudaya konteks-tinggi lebih menyadari proses penyaringan budaya dari pada orang-orang berbudaya konteks-rendah.
Menurut Bernstein, dalam komunikasi konteks-tinggi pembicara menggunakan sedikit alternatif, tetapi kemungkinan meramalkan polanya lebih besar, arti pesan dalam komunikasi konteks-tinggi lebih khusus. Sebaliknya dalam komunikasi konteks-rendah, pembicara akan memilih pesan dari sejumlah alternatif yang relatif lebih banyak dan oleh karena itu kemungkinan meramalkan hasil pesan akan berkurang, tetapi menjamin pengertian yang lebih universal.
Nama sebagai Simbol
Dimensi pertama atau fungsi pertama bahasa adalah penamaan. Nama diri sendiri adalah simbol pertama dan utama bagi seseorang. Nama dapat melambangkan status, cita-rasa budaya, untuk memperoleh citra tertentu (pengelolaan kesan) atau sebagai nama hoki. Nama yang kita terima sejak lahir tidak hanya mempengaruhi kehidupan kita, tetapi juga mempengaruhi orang lain untuk memperlakukan kita, dan terpenting, mempengaruhi kita dalam mempersepsi diri sendiri. Contoh misalnya Julukan murahan terhadap seorang wanita mempengaruhi bagaimana orang itu di perlakukan oleh lawan jenisnya.
Nama adalah bagian dari konsep diri yang sangat penting. Bahkan nama juga menunjukan kesadaran seseorang. Seperti halnya perubahan nama seseorang yang tadinya non-Muslim menjadi Muslim adalah salah satu pertanda perubahan jati-dirinya dan hubungannya dengan alam semesta. Penamaan seseorang, suatu objek atau suatu peristiwa ternyata juga tidak sederhana. Nama juga dapat menyusahkan penyandangnya. Contoh kecilnya seperti orang-orang yang punya nama Muhammad, Abdullah, atau Khadijah mungkin merasa terbebani apabila mereka berkelakuan buruk. Sementara itu juga, penjulukan yang tidak tepat atas seseorang atau sekelompok orang dapat memberikan implikasi yang sangat serius. Dan juga dapat menimbulkan nubuat yang dipenuhi sendiri.