Golput adalah singkatan dari golongan putih sebagai representasi dari kelompok yang memutuskan untuk tidak ikut serta memilih siapapun dalam pesta demokrasi, baik legislatif maupun pemilhan eksekutif. Istilah golput semakin santer terdengar ketika pemilu 1971, dimana sejumlah mahasiswa, pemuda dan pelajar pada 3 Juni 1971 memproklamirkan berdirinya "Golongan Putih" sebagai gerakan moral yang digawangi oleh beberapa tokoh antara lain Adnan Buyung Nasution dan Arief Budiman. Mereka memproklamirkan Golput di Balai Budaya Djakarta, demikian bukti sejarah yang juga ditulis kompas pada 5 Juni 1971.
Golput diproklamirkan sebagai gerakan moral yang merasa aspirasinya tidak terwakili. Namun berdasarkan analisa AM Mahmud dalam artikel dosen yang dimuat laman media online uin-suska.ac.id setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan sesorang menjadi Golput, Pertama di dalam undang-undang negara kita disebutkan bahwa keikutsertaan warga sebagai pemilih merupakan hak warga negara hal ini menimbulkan persepsi memilih bukan sebagai kewajiban (UU.10 /th. 2008 Pasal 19 ayat 1). Kedua Karena sosok yang dipilih tidak pernah membawa perubahan yang signifikan, bahkan terkesaan memperkaya diri sendiri. Ketiga Karena faktor pemahaman keagamaan yang berpandangan bahwa pemilu bukanlah sistem islami, menurut mereka yang ektrim pemilu adalah sistem thagut yang haram untuk diikuti.
Terlepas dari tiga faktor di atas, kenyataannya memang tingkat Golput dalam setiap pemilu angkanya tinggi, misalnya saja yang golput pada pemilu tahun 2019 berjumlah 34,75 Juta jiwa atau 18, 02 persen DPT ( daftar pemilih tetap ) apalagi pada pemilu tahun 2014 angka golputnya mencapai 56,61 Jiwa atau 30,22 persen.
Kembali kepada fokus tulisan ini, bagaimana sebenarnya ajaran Islam tentang memilih seorang pemimpin. Beberapa ayat diantaranya akan menjadi landasan utama pemikiran kita tentang boleh tidaknya menjadi seorang Golput.
Allah Swt berfirman dalam surat An-Nisa : 59
Hai orang-orang yang beriman,taatlah kepada Allah swt., dan taatlah kepada Rasul-Nya, dan kepada  orang-orang yang memegang kekuasaan di antaramu. jika kamu berselisih mengenai sesuatu, maka kembalikanlah hal itu kepada Allah swt. dan Rasul-Nya, jika kamu memang beriman kepada Allah swt. dan Hari Kemudian. Hal demikian itu paling baik dan paling bagus akibatnya.
Penjelasan:
Kata "taat," yang terletak sebelum kata-kata "Allah swt. swt." dan "Rasul," telah ditiadakan sebelum perkataan orang-orang yang memegang kekuasaan agar menunjukkan bahwa ketaatan sepenuh-penuhnya kepada penguasa yang diangkat menurut undang-undang, berarti pula taat kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya. Perintah yang terkandung dalam kata-kata, "Kembalikanlah hal itu kepada Allah swt. dan Rasul-Nya " dapat ditujukan kepada sengketa antara rakyat itu sendiri. Jika ditujukan kepada keadaan yang pertama, maka maksudnya ialah, seandainya ada suatu perkara yang mengenainya timbul ketidaksepakatan antara penguasa-penguasa dan rakyat, maka hal itu hendaknya diputuskan menurut ajaran Alquran; dan jika tidak ada keterangan Al-Quran, maka hendaknya menuruti sunah dan hadis. Akan tetapi, apabila Alquran, sunah, dan hadis diam mengenai masalah itu, hendaknya diserahkan kepada orang-orang yang diberi wewenang mengurusi perkara-perkara kaum Muslimin.
Ayat itu menunjuk kepada hal-hal yang khusus berhubungan dengan perkara-perkara kenegaraan. Dalam hal ini yang menjadi dasar perintah itu ialah, segala ketaatan kepada penguasa itu harus tunduk kepada ketaatan terhadap Tuhan dan Rasul-Nya. Tetapi, apabila ada perbedaan paham dan sengketa mengenai utusan kemasyarakatan dan sebagainya yang nampaknya disinggung dengan kata-kata jika kamu berselisih, kaum muslimin harus dibimbing oleh hukum syariat Islam dan bukan oleh hukum yang lain. (The Holly Qur'an, JAI catatan kaki no. 623)
Ayat di atas menjelaskan bahwa kewajiban taat kepada pemimpin yang sah dalam hal kebajikan sebanding lurus dengan taat kepada Allah dan rasul-Nya, maka dalam hal prosesi pengangkatan seorang pemimpin sama wajibnya untuk ikut serta sesuai konstitusi negara yang dijalankan. Maka dalam hal ini ajaran Islam melarang penganutnya untuk abai terhadap proses demokrasi di negaranya apalagi sampai memilih Golput.
Allah Swt berfirman dalam surat An-Nisa : 58